Sabtu, November 29, 2008

Suara Merdeka 11 November 2008
WACANA

Single Global Currency
Oleh FX Sugiyanto

DI balik terjadinya krisis, tidak jarang mendorong munculnya kreativitas. Menanggapi krisis keuangan global kali ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sivitas akademika IPB melontarkan gagasan perlunya single global currency (SGC). SBY juga melontarkan gagasan perlunya meninjau kembali peran lembaga dunia seperti IMF, WTO dan Bank Dunia, serta posisi Indonesia dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga tersebut. Ini bukan sembarang lontaran, karena SBY menyampaikannya dalam orasi ilmiah di perguruan tinggi negeri itu, sekaligus ini ‘’tantangan’’ kepada orang-orang kampus. Wacana yang dilontarkan SBY sesungguhnya bukan hal baru. Pertanyaan mendasarnya, apakah wacana tersebut merupakan solusi yang tepat, setidaknya untuk saat ini. Dan, apakah wacana itu cukup realistis?
Pemberontakan StiglitzSejak awal Joseph E Stiglitz —pemenang Nobel Ekonomi 2001 dan mantan penasihat ekonomi Presiden Bill Clinton— sudah mengkritik pedas keberadaan IMF. Bahkan ia mengatakan, IMF sudah saatnya ‘’tutup buku’’. Globalisasi, menurut Stiglitz, hanya akan melahirkan kontroversi. Globalisasi akan memunculkan liberalisasi dan integrasi pasar keuangan, serta hanya akan melahirkan aliran modal panas yang spekulatif dan instabilitas. Menurutnya, IMF gagal menunjukkan bukti bahwa liberalisasi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang. Bahkan, secara agak sarkastis, Stiglitz menuduh kebijakan IMF dilahirkan bukan berdasarkan suatu teori dan bukti empiris, tetapi dari suatu kepentingan pasar dan ideologi yang berimpit dengan kepentingan tersebut (Stiglitz; Oxford Review of Economic Policy, Vol 20 no 1, 2004). Pemberontakan Kepala Ekonom Bank Dunia terhadap IMF itu sebenarnya merupakan puncak kekecewaan negara-negara berkembang yang kecewa atas peran lembaga keuangan tersebut. Tentu dampaknya berbeda ketika kekecewaan tersebut disampaikan Stiglitz yang peraih hadial Nobel Ekonomi. Senada dengan Stiglitz, Paul R Krugman —peraih Nobel Ekonomi 2008— telah lama menandai bahwa liberalisasi ekonomi hanya akan memunculkan kapitalisasi di negara-negara industri, sementara negara berkembang hanyalah periferi. Dengan kata lain, liberalisasi akan menciptakan kesenjangan yang makin jauh antara negara maju dan negara berkembang. Jadi, kalau SBY melontarkan wacana perlunya meninjau kembali peran IMF terhadap perekonomian Indonesia, hal ini lebih merupakan bentuk aksentuasi yang telah dilakukan Stiglitz dan Krugman. Apapun yang dilakukan SBY merupakan sebuah langkah berani, meski belum mampu ‘’melawan’’ peran IMF. Setidaknya, hal ini bisa menjadi pemicu untuk mendorong tata ekonomi dunia yang lebih adil.
Bukan Hal BaruSBY memang belum merinci wacana SGC yang dilontarkannya. Tetapi ia memberi latar belakang, kalau SGC diberlakukan, maka stabilitas ekonomi akan terjadi karena tidak akan ada lagi ada penguangan dengan uang, dan fungsi uang berubah dari sebagai alat tukar. Presiden tidak memaparkan apa yang dia maksud dengan SGC. Seandainya yang dimaksud adalah regional currency unit seperti euro saat ini, tentu ini bukan hal baru, dan juga realitis untuk diterapkan, walau belum tentu realistis untuk Indonesia. Mantan presiden Habibie pun pernah mengusulkan perlunya asian currency unit, meski tidak mendapat banyak tanggapan antusias. Apabila yang dimaksud SBY adalah one single global currency (satu mata uang yang berlaku secara global), maka pertanyaannya apakah gagasan tersebut realistis? Dari sisi ide dan teori, gagasan ini bisa dipahami. Sebab dunia telah pula melakukannya, yakni ketika sistem moneter dunia menganut Sistem Standar Emas, yang mengalami kejatuhannya menjelang depresi besar tahun 1930-an. Sistem itu dapat diterapkan, ketika uang masih berperan sebagai alat tukar dan hanya digunakan untuk tujuan bertransaksi. Tetapi ketika uang juga berfungsi sebagai aset, bahkan digunakan untuk tujuan spekulasi, Sistem Standar Emas sebagai satu-satunya mata uang yang diterima sebagai alat tukar internasional sudah tidak layak lagi. Tentu hal ini karena produksi dan pasokan emas yang terbatas. Setelah Perang Dunia II, sistem yang mirip dengan SGC juga diterapkan, yaitu Sistem Bretton Woods, yang mana dolar AS sebagai satu-satunya mata uang kuat dunia yang diterima sebagai alat tukar dunia. Dengan sistem ini, AS justru merasa terpenjara karena menjadi satu-satunya negara yang tidak boleh melakukan depresiasi mata uangnya. Akhirnya sistem itu ambruk juga di tahun 1970-an. Pertanyaannya, mengapa sistem SGC berakhir pada keambrukan? Jawabannya karena aktivitas ekonomi dunia, yang melibatkan hampir semua negara, sudah sangat bervariasi dengan motif yang bervariasi pula, termasuk motif berdagang uang. Variasi tersebut bukan hanya dari aspek aktivitas ekonomi, tetapi juga variasi dalam struktur ekonomi antarnegara dan kawasan.
Bukan Sistem Moneter Kita bisa menyalahkan motif keserakahan sebagai penggerak perdagangan uang dan saham yang membawa dunia pada krisis sekarang ini. Tetapi kita tidak bisa memaksa orang untuk tidak mengejar motif pemuasan diri tersebut. Bahwa SBY dan kita galau karena krisis gloal, dan harus mencari pemecahan yang sustain, itu adalah betul. Tetapi kenyataan variasi struktur ekonomi antarnegara dan kawasan sangat berbeda, maka secara empiris dan realitis tidak memungkinkan untuk penggunaan sistem mata uang tunggal dunia sebagaimana gagasan SBY tersebut. Kalau pun kemungkinan itu ada, maka yang lebih realistis adalah sistem mata uang tunggal regional (regional currency unit). Itu pun masih memerlukan persyaran mendasar, yakni struktur ekonomi negara-negara yang akan terlibat tidak terlalu timpang. Belum lagi dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Kita lihat, bagaimana Inggris belum mau menggabungkan pound ke euro. Kegalauan akibat krisis dan rentannya ekonomi Indonesia saat ini tentu disebabkan banyak faktor. Faktor yang terpenting adalah karena investor tidak termotivasi untuk mendapatkan gain di sektor riil. Karena itu, mereka hanya memutar-mutar uang dalam berbagai macam aset non-riil seperti saham dan mata uang lainnya. Pengaturan-pengaturan yang lebih serius dalam sistem keuangan dan moneter kita perlu dilakukan, misalnya berkaitan dengan transaksi derivatif dan berbagai macam instrumen yang menyebabkan asymmetric information dan pelanggaran di pasar keuangan. Tetapi itu saja belum cukup. Ketika krisis berulang dalam waktu relatif pendek, dengan pemicu sama, berarti masih ada faktor fundamental yang belum banyak berubah. Faktor fundamental itu adalah belum adanya kesungguhan pemerintah untuk membenahi sektor riil. Kini, sudah saatnya kita menunggu bukti, bukan lagi janji-janji. (32)–– Prof FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip.
Single Global Currency
Oleh FX SugiyantoDI balik terjadinya krisis, tidak jarang mendorong munculnya kreativitas. Menanggapi krisis keuangan global kali ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sivitas akademika IPB melontarkan gagasan perlunya single global currency (SGC). SBY juga melontarkan gagasan perlunya meninjau kembali peran lembaga dunia seperti IMF, WTO dan Bank Dunia, serta posisi Indonesia dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga tersebut. Ini bukan sembarang lontaran, karena SBY menyampaikannya dalam orasi ilmiah di perguruan tinggi negeri itu, sekaligus ini ‘’tantangan’’ kepada orang-orang kampus. Wacana yang dilontarkan SBY sesungguhnya bukan hal baru. Pertanyaan mendasarnya, apakah wacana tersebut merupakan solusi yang tepat, setidaknya untuk saat ini. Dan, apakah wacana itu cukup realistis?
Pemberontakan StiglitzSejak awal Joseph E Stiglitz —pemenang Nobel Ekonomi 2001 dan mantan penasihat ekonomi Presiden Bill Clinton— sudah mengkritik pedas keberadaan IMF. Bahkan ia mengatakan, IMF sudah saatnya ‘’tutup buku’’. Globalisasi, menurut Stiglitz, hanya akan melahirkan kontroversi. Globalisasi akan memunculkan liberalisasi dan integrasi pasar keuangan, serta hanya akan melahirkan aliran modal panas yang spekulatif dan instabilitas. Menurutnya, IMF gagal menunjukkan bukti bahwa liberalisasi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang. Bahkan, secara agak sarkastis, Stiglitz menuduh kebijakan IMF dilahirkan bukan berdasarkan suatu teori dan bukti empiris, tetapi dari suatu kepentingan pasar dan ideologi yang berimpit dengan kepentingan tersebut (Stiglitz; Oxford Review of Economic Policy, Vol 20 no 1, 2004). Pemberontakan Kepala Ekonom Bank Dunia terhadap IMF itu sebenarnya merupakan puncak kekecewaan negara-negara berkembang yang kecewa atas peran lembaga keuangan tersebut. Tentu dampaknya berbeda ketika kekecewaan tersebut disampaikan Stiglitz yang peraih hadial Nobel Ekonomi. Senada dengan Stiglitz, Paul R Krugman —peraih Nobel Ekonomi 2008— telah lama menandai bahwa liberalisasi ekonomi hanya akan memunculkan kapitalisasi di negara-negara industri, sementara negara berkembang hanyalah periferi. Dengan kata lain, liberalisasi akan menciptakan kesenjangan yang makin jauh antara negara maju dan negara berkembang. Jadi, kalau SBY melontarkan wacana perlunya meninjau kembali peran IMF terhadap perekonomian Indonesia, hal ini lebih merupakan bentuk aksentuasi yang telah dilakukan Stiglitz dan Krugman. Apapun yang dilakukan SBY merupakan sebuah langkah berani, meski belum mampu ‘’melawan’’ peran IMF. Setidaknya, hal ini bisa menjadi pemicu untuk mendorong tata ekonomi dunia yang lebih adil.
Bukan Hal BaruSBY memang belum merinci wacana SGC yang dilontarkannya. Tetapi ia memberi latar belakang, kalau SGC diberlakukan, maka stabilitas ekonomi akan terjadi karena tidak akan ada lagi ada penguangan dengan uang, dan fungsi uang berubah dari sebagai alat tukar. Presiden tidak memaparkan apa yang dia maksud dengan SGC. Seandainya yang dimaksud adalah regional currency unit seperti euro saat ini, tentu ini bukan hal baru, dan juga realitis untuk diterapkan, walau belum tentu realistis untuk Indonesia. Mantan presiden Habibie pun pernah mengusulkan perlunya asian currency unit, meski tidak mendapat banyak tanggapan antusias. Apabila yang dimaksud SBY adalah one single global currency (satu mata uang yang berlaku secara global), maka pertanyaannya apakah gagasan tersebut realistis? Dari sisi ide dan teori, gagasan ini bisa dipahami. Sebab dunia telah pula melakukannya, yakni ketika sistem moneter dunia menganut Sistem Standar Emas, yang mengalami kejatuhannya menjelang depresi besar tahun 1930-an. Sistem itu dapat diterapkan, ketika uang masih berperan sebagai alat tukar dan hanya digunakan untuk tujuan bertransaksi. Tetapi ketika uang juga berfungsi sebagai aset, bahkan digunakan untuk tujuan spekulasi, Sistem Standar Emas sebagai satu-satunya mata uang yang diterima sebagai alat tukar internasional sudah tidak layak lagi. Tentu hal ini karena produksi dan pasokan emas yang terbatas. Setelah Perang Dunia II, sistem yang mirip dengan SGC juga diterapkan, yaitu Sistem Bretton Woods, yang mana dolar AS sebagai satu-satunya mata uang kuat dunia yang diterima sebagai alat tukar dunia. Dengan sistem ini, AS justru merasa terpenjara karena menjadi satu-satunya negara yang tidak boleh melakukan depresiasi mata uangnya. Akhirnya sistem itu ambruk juga di tahun 1970-an. Pertanyaannya, mengapa sistem SGC berakhir pada keambrukan? Jawabannya karena aktivitas ekonomi dunia, yang melibatkan hampir semua negara, sudah sangat bervariasi dengan motif yang bervariasi pula, termasuk motif berdagang uang. Variasi tersebut bukan hanya dari aspek aktivitas ekonomi, tetapi juga variasi dalam struktur ekonomi antarnegara dan kawasan.
Bukan Sistem Moneter Kita bisa menyalahkan motif keserakahan sebagai penggerak perdagangan uang dan saham yang membawa dunia pada krisis sekarang ini. Tetapi kita tidak bisa memaksa orang untuk tidak mengejar motif pemuasan diri tersebut. Bahwa SBY dan kita galau karena krisis gloal, dan harus mencari pemecahan yang sustain, itu adalah betul. Tetapi kenyataan variasi struktur ekonomi antarnegara dan kawasan sangat berbeda, maka secara empiris dan realitis tidak memungkinkan untuk penggunaan sistem mata uang tunggal dunia sebagaimana gagasan SBY tersebut. Kalau pun kemungkinan itu ada, maka yang lebih realistis adalah sistem mata uang tunggal regional (regional currency unit). Itu pun masih memerlukan persyaran mendasar, yakni struktur ekonomi negara-negara yang akan terlibat tidak terlalu timpang. Belum lagi dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Kita lihat, bagaimana Inggris belum mau menggabungkan pound ke euro. Kegalauan akibat krisis dan rentannya ekonomi Indonesia saat ini tentu disebabkan banyak faktor. Faktor yang terpenting adalah karena investor tidak termotivasi untuk mendapatkan gain di sektor riil. Karena itu, mereka hanya memutar-mutar uang dalam berbagai macam aset non-riil seperti saham dan mata uang lainnya. Pengaturan-pengaturan yang lebih serius dalam sistem keuangan dan moneter kita perlu dilakukan, misalnya berkaitan dengan transaksi derivatif dan berbagai macam instrumen yang menyebabkan asymmetric information dan pelanggaran di pasar keuangan. Tetapi itu saja belum cukup. Ketika krisis berulang dalam waktu relatif pendek, dengan pemicu sama, berarti masih ada faktor fundamental yang belum banyak berubah. Faktor fundamental itu adalah belum adanya kesungguhan pemerintah untuk membenahi sektor riil. Kini, sudah saatnya kita menunggu bukti, bukan lagi janji-janji. (32)––

Prof FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip.

Jumat, Oktober 10, 2008

Krisis Keuangan

BERITA UTAMA Suara Merdeka 10 Oktober 2008

'Obat Darurat' Krisis Keuangan

Oleh FX Sugiyanto

FILSAFAT selalu mengajak kita melihat persoalan dan berbagai realitas dari banyak perspektif, sekaligus secara mendasar. Sebaliknya, praksis kadang-kadang dan lebih sering menuntut penyelesaian secara praktis, cepat yang bersifat pragmatis. Krisis keuangan global saat ini, adalah fenomena praksis yang indikatornya termunculkan dalam kepanikan tindakan para pelaku ekonomi.Penghentian perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta 8 Oktober 2008, jelas menunjukkan adanya kepanikan tersebut. Tentu kepanikan itu bisa dipahami mengingat IHSG jatuh hingga ketingkat 1.456,66 poin, turun 1378.6 poin dibanding posisi 9 Januari 2008. Kepanikan juga melanda semua bursa efek dunia. Kepanikan ini tentu menuntut cara-cara praktis dan cepat, selain fundamental untuk menghentikannya, agar kehancuran tidak semakin parah. IMF telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Eropa akan turun menjadi 1,3 % dari perkiraan sebelumnya 2,6 %. Penurunan aktivitas ekonomi trans-atlatik ini diprediksi memunculkan potensi resesi ekonomi dunia. Untuk menghambat atau sedapat mungkin menghindari datangnya resesi, karena krisis keuangan AS telah juga merambat ke Eropa, masyarakat ekonomi Eropa telah mengambil tindakan dengan segera. Walaupun, mata uang mereka rata-rata menguat, Euro dan Poundsterling, tetapi ECB (European Central Bank) dan Bank of England telah mengambil tindakan penurunan tingkat bunga.Harga minyak di pasar dunia saat ini juga terkoreksi, hingga level 90 dollar AS per barrel. Minyak yang juga merupakan bentuk portfolio, permintaannya di pasar dunia diperkirakan menurun seiring dengan perkiraan munculnya resesi tersebut, karena kemungkinan menurunnya aktivitas di sektor industri. Efek domino krisis keuangan global ini jelas sudah dirasakan di Asia, termasuk Indonesia. Dan tentu kalau krisis ini berkelanjutan, bukan hanya pasar keuangan yang terkena, tetapi juga aktivitas di sektor riil, khususnya yang berkaitan dengan industri ekspor. Kerja sama antarnegara jelas sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi saat ini. Walaupun AS tetap sebagai yang terbesar dalam kuantitas ekonomi dunia, selain Uni Eropa, AS jelas tidak akan mampu dan mau mengatasi krisis ini sendirian. Selain bank-bank Eropa telah menurunkan suku bunganya, FED-pun telah lagi menurunkan suku bunganya saat ini sebesar 50 poin menjadi 1,5 %. Berikutnya ditunggu peran dari negara-negara yang sedang mengalangi kemakmuran ekonomi, seperti China, India dan Brasil. China, memang sudah menurunkan suku bunganya saat ini.Posisi Kritis DolarMelemahnya rupiah saat ini adalah hal yang ”wajar” karena pemburu rente di pasar keuangan saat ini ramai-ramai mengalihkan aset mereka ke dolar juga Euro, bersamaan dengan rontoknya nilai saham mereka. Tentu saja kita, BI dan pemerintah khawatir ketika dolar telah melemah hingga melampaui Rp 9.600/dolar AS. BI sendiri tentu mempunyai alasan kuat ketika harus menaikkan SBI menjadi 9,50 %. Sebagaimana sudah saya kemukakan pada harian ini (19 September 2008), kecuali ada perubahan yang semakin memburuk akibat kasus Lehman Brothers dan inflasi dapat dikendalikan, BI sebaiknya mempertahankan BI rate-nya. Faktanya, kasus tersebut merambat luas. Apakah BI sebaiknya menaikkan BI ratenya lagi, ini sangat tergantung pada perkembangan ekternal dan respons para pelaku pasar uang di Indonesia, apakah mereka masih merasa aman dan nyaman dengan suku bunga saat ini, yang kira-kira masih ada selisih suku bunga internasional riil (real interest rate differential) sekitar 2-2,5 %. Imbauan oleh Menneg BUMN agar 14 BUMN besar mau merupiahkan dolar mereka merupakan langkah yang sangat berarti untuk mengurangi kepanikan pasar saat ini. Tentu pemerintah tidak bisa melakukan kebijakan model ”Gebrakan Sumarlin” tahun 1991, karena BUMN bukan tangan pemerintah lagi sebagaimana dulu. Sementara Menkeu juga bukan lagi ketua Otoritas Moneter. Tetapi yang juga harus diingat, krisis ini memberikan ’windfall profit bagi BUMN pemilik banyak dolar tersebut. Pertamina, misalnya, rata-rata setiap minggu memerlukan 6 juta dolar, yang berarti dengan kenaikan sekitar Rp 200/dolar dalam pekan ini, Pertamina sudah mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp 1,2 miliar hanya dengan menyimpan dolar. Dengan gambaran ini saya mau mengatakan, apapun status hukumnya badan usaha tersebut, BUMN tadi punya kewajiban ikut menyelamatkan perekonomian ini, tidak justru mengambil peluang di tengah ancaman badai krisis.Imbauan ini mestinya juga berlaku untuk BUMN lain seperti bank yang juga menikmati ”durian runtuh” tersebut, bahkan juga BUMS. Bahkan, perbankan mestinya juga tidak menahan-nahan kenaikan bunga depositonya, agar para penabung kecil-pun juga terangsang untuk menabung.Apakah langkah BI menaikkan BI rate-nya kontroversial, sementara beberapa negara lain justru menurunkan suku bunga mereka? Setidaknya untuk sementara, menurut saya, itu adalah pilihan yang paling baik. Tindakan itu dimaksudkan untuk menahan para spekulan pemburu rente (baca: menghindari risiko), berburu valas yang akan dapat mengancam ekonomi nasional. Sebab, posisi dolar saat ini yang sudah mencapai Rp 9.600/ dolar adalah posisi kritis. Posisi tersebut sudah berada pada posisi paritas-nya sekitar Rp 9.597/ dolar. Tentu saja ini posisi darurat yang harus dijaga oleh BI agar tidak terlalu jauh melampaui posisi kurs paritas tersebut.Obat DaruratBanyak yang berpendapat, kenaikan BI rate tersebut tidak akan menyelesaiakan masalah. Pendapat itu tentu tidak salah. Tetapi, sebagaimana sudah dikemukakan di awal tulisan ini, perlu ada tindakan pragmatis, selain langkah-langkah fundamental. Baik langkah menaikkan BI rate maupun perupiahan dolar oleh BUMN barulah merupakan syarat yang diperlukan, dan masih belum cukup. Langkah-langkah itu baru menjadi ”obat darurat” untuk tidak kolaps. Tentu perlu langkah-langkah fundamental lain; yang tentu masih banyak yang harus dilakukan.Fenomena krisis keuangan saat ini; bagi Indonesia, memperkuat keyakinan yang sudah teridentifkasi dan tersahihkan bahwa sektor moneter masih terpisah dan tidak terkait dengan sektor riil. Fenomena ini jelas bukan fenomena baru, karena Peter F Drucker sudah mengidentifikasinya pada pertengahan 1980-an. Dalam konteks Indonesia, dapat kita katakan secara sederhana, bahwa krisis keuangan ini ”hanya” berdampak langsung kepada para pelaku di pasar keuangan; yang tidak lain atau sebagian besar para pemilik aset besar dan kelompok elite ekonomi Indonesia. Sayangnya, kalau tidak boleh saya katakan sebagai celakanya, adalah kelompok elite kecil ini mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Karena kelompok ini adalah kelompok oligarchi ekonomi, yang dalam struktur piramida berada pada lapis atas. Sementara, fenomena ketidakterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil, menunjukkan adanya regiditas dalam mekanisme transmisi kebijakan ekonomi, sehingga sektor riil tidak responsif terhadap berbagai kebijakan ekonomi, khususnya kebijakan moneter. Karena perannya yang dominan tersebut, krisis keuangan yang dampaknya secara langsung dan segera dirasakan oleh oligarchi ekonomi tadi, tetap akan berdampak lanjutan kepada semua lapisan masyarakat ekonomi Indonesia, jika krisis ini tidak segera teratasi dan juga tidak ada penanganan yang mendasar. Penanganan mendasar ini berkaitan dengan upaya serius pembangkitan ekonomi di sektor riil termasuk pada UMK, yang meliputi semua dimensi keterkaitannya, baik sumber daya, hukum, tatanan politik dan tentu saja birokrasi yang friendly terhadap investasi. Sehingga regiditas transmisi tadi dapat diperbaiki. Kepada para pelaku ekonomi marginal dan kecil, selain peluang dan kesempatan sama juga perlindungan dalam berbagai bentuk regulasi perlu diberikan, untuk mengurangi kerentanan perekonomian dari pengaruh perilaku para pelaku oligarchi ekonomi tersebut.(60)— Penulis adalah Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) dan Guru Besar FE Undip

Rabu, September 17, 2008

Etika dan Keadikan

Dalam nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Yang saya hormati:
Rektor/ Ketua Senat Universitas Diponegoro
Sekretaris Senat Universitas Diponegoro
Para Anggota Senat dan Dewan Guru Besar Universitas Diponegoro
Ketua dan Anggota Dewan Penyantun Universitas Diponegoro
Gubernur Provinsi Jawa Tengah, para Bupati, para Pejabat Sipil dan Militer, para Pimpinan dan Anggota Legislatif
Para Guru Besar dari luar Universitas Diponegoro
Para Pembantu Rektor Universitas Diponegoro dan Ketua Lembaga di Universitas Diponegoro
Para Dekan, Pembantu Dekan dan para Ketua Program
Para Undangan dari Perguruan Tinggi di luar Universitas Diponegoro, Perbankan dan teman-teman Wartawan
Rekan-rekan Staf Pengajar, Staf Administrasi dan para Mahasiswa dan seluruh hadirin yang berbahagia.
Selamat pagi, salam sejahtera, semoga berkat Tuhan Yang Maha Kasih selalu menyertai kita. Puji syukur kita hunjukkan kepada Allah Yang Maha Baik, karena atas rahmat dan karunia-NYA kita diperkenankan hadir pada pagi yang berbahagia ini.

Pertama-tama perkenankan saya menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional yang telah menyetujui dan mengangkat saya dalam jabatan Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Universitas Diponegoro terhitung sejak tanggal 1 Juni 2006. Selanjutnya terimakasih saya sampaikan kepada Rektor/ Ketua Senat Universitas Diponegoro yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menyampaikan pidato dengan judul METODE BERPIKIR EKONOMI MAINSTREAM, ETIKA DAN KEADILAN, dalam acara Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Diponegoro pada hari ini.
Mengawali refleksi kali ini, perkenankan saya mengajukan pertanyaan yang agak provokatif: “Masih relevankan ilmu ekonomi yang kita pelajari ini dalam menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan yang terjadi dan masih akan terjadi dewasa ini, khususnya di Indonesia?” Sesungguhnya pertanyaan ini muncul bukan dari saya, melainkan dari para mahasiswa saya, ketika kita menghadapi fakta-fakta keterpurukan ekonomi Indonesia akhir tahun 1990-an dan ilmu ekonomi mendapat hujatan karena dianggap tidak mampu mengatasi persoalan tersebut. Oleh karena itu pula, dalam buku The Death of Economics, Paul Ormerod mengatakan ilmu ekonomi sudah mati (Ormerod, 1997).
Hampir senada dengan Ormerod, Fritjof Capra (2000: 253) mengatakan bahwa ilmu ekonomi saat ini ditandai dengan pendekatan reduksionis dan terpecah-pecah. Menurutnya, para ahli ekonomi biasanya gagal mengetahui bahwa ilmu ekonomi hanyalah satu aspek dari suatu keseluruhan susunan ekonomi dan sosial, suatu sistem hidup yang terdiri dari manusia dalam interaksi yang terus menerus satu sama lain dan dengan sumber daya alam sekitarnya yang sebagian besar diantaranya berupa organisme hidup. Atau memang benar apa yang ditanyakan John Horgan (2005) kepada Karl Popper, Imre Lakatos, Thomas Khun dan Paul Feyerabend atas posisi filosofis yang skeptis dari ilmu pengetahuan bahwa mereka telah memberikan kekuatan yang berlebihan kepada ilmu pengetahuan sehingga telah membawa ilmu pengetahuan itu sendiri kepada kematiannya?
Fakta-fakta ekonomi Indonesia antara tahun-tahun sebelum tahun 1998 dan sesudahnya memberikan ilustrasi betapa ekonomi Indonesia dan beberapa negara lain di kawasan Asia begitu tergoncang. Krisis itu datangnya seolah begitu tiba-tiba. Setelah mengalami pertumbuhan tinggi sekitar 25 tahun, dari tahun 1971-1997, Indonesia (7,21 persen), Malaysia (8,14 persen), Philipina (3,68 persen), Thailand (7,20 persen) dan Korea Selatan (7,82 persen), negara-negara tersebut mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 1998 (Gambar 1). Diantara berbagai negara yang dilanda krisis, kondisi Indonesia tergolong yang paling parah. Hampir semua indikator makro ekonomi memburuk. Pertumbuhan ekonomi menurun dan negatif, tingkat inflasi meningkat tajam, nilai tukar Rupiah menurun dan tingkat pengangguran meningkat tajam (Gambar 2).

Mengapa sendi-sendi ekonomi Indonesia tampak begitu rapuh dan kehancuran tersebut seolah-olah tiba-tiba datangnya, sementara pemulihan ekonomi terasa begitu lambat? Atas dasar kenyataan tersebut, ilmu ekonomi dituduh tidak berdaya dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan riil masyarakat.
Bagi kita, para sarjana ekonomi dan guru besar ekonomi, situasi tersebut memberi peluang kepada kita untuk kembali merenungkan pertanyaan besar berikut; “Tidakkah ada yang salah dalam ilmu ekonomi yang kita pelajari?” atau “Apakah ilmu ekonomi dewasa ini sedang berada pada suatu krisis konseptual yang hebat?” Pada hemat saya, ilmu ekonomi masih mampu menjawab berbagai persoalan tadi tetapi perlu metodologi yang berbeda atau setidak-tidaknya dengan pendekatan dan cara pandang yang berbeda dari yang selama ini kita gunakan.
Hingga saat ini pemikiran ekonomi Neoklasik tetap menjadi pemikiran arus utama (mainstream) dalam ilmu ekonomi yang diajarkan di kebanyakan perguruan tinggi. Esensi pemikiran ekonomi Neoklasik adalah keyakinan akan bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna sehingga tidak diperlukan campur tangan pemerintah (laissez faire). Kerangka dasar analisis pemikiran Neoklasik, dengan tokoh puncaknya Alfred Marshall (1842-1924), adalah supply side management yang merupakan pengembangan dan sintesis pemikiran Adam Smith, David Ricardo, John Stuart Mill dan Jean-Baptiste Say (Mazhab Klasik) dengan William Stanley Jevons, Carl Menger dan Leon Walras (Mazhab Marginalis).
Ilustrasi berikut ini memberi gambaran akan perlunya pendekatan baru itu. Ketika perekonomian dunia mengalami stagnasi tahun 1930-an, John Maynard Keynes muncul dengan bukunya yang kemudian menjadi dasar analisis ekonomi makro modern;”The General Theory of Employment, Interest and Money”. Buku itu lahir sebagai jawaban atas kebekuan pemikiran ekonomi pada saat itu ketika pemikiran ekonomi didominasi pemikiran ekonomi Neoklasik dengan penekanan utama pada analisis perilaku ekonomi mikro. Menurut Keynes fakta terjadinya pengangguran yang besar, depresi dan inflasi yang berkepanjangan telah menggugurkan teori Neoklasik (Keynes, 1964). Oleh karena itu, teori ekonomi Keynes justru berangkat dari dasar yang sama sekali berbeda dengan Neoklasik, yakni aggregate demand management. Kerisauan Keynes atas kondisi faktual ekonomi masa itu yang kemudian melahirkan teori dengan kerangka pemikiran aggregate demand management, akhirnya menjadi tonggak berkembangnya ekonomi makro modern. Keynes dalam hal ini menawarkan sebuah metodologi baru dalam ilmu ekonomi.
Situasi yang hampir sama sesungguhnya juga dialami oleh David Ricardo pada pertengahan pertama abad ke-19 ketika Inggris kekurangan gandum dan diblokade oleh tentara Napoleon, bersamaan dengan semakin kuatnya keyakinan bahwa perdagangan antar negara tidak lagi diperlukan, bahkan yang diperlukan justru proteksi. Menghadapi kebekuan seperti itu, sebagai anggota parlemen, Ricardo mampu memecahkan persoalan dengan mengajukan teorinya mengenai keunggulan komparatif (comparative advantage).
Baik Keynes maupun Ricardo memberi keyakinan akan perlunya metodologi baru dalam menyelesaikan masalah kemasyarakatan ketika teori-teori yang ada tidak lagi mampu menyelesaikannya. Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa suatu teori lahir dari dan berpangkal pada sudut pandang dan masalah yang melatarbelakanginya. Artinya, sistem nilai secara intrinsik terkandung di dalamnya. Teori-teori tersebut mendapatkan legitimasinya karena relevan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dan realistik terhadap kondisi sosial masyarakat.
Ilmu ekonomi yang sekarang menjadi arus utama tidak lagi mencukupi untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan riil ekonomi. John Kenneth Galbraith mengritiknya dengan mengatakan ilmu ekonomi jauh dari realitas karena tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan (Galbraith, 1971 dalam Mubyarto, 1979).
Kita akan menjawab berbagai pertanyaan di atas melalui beberapa tahapan uraian. Pada bagian pertama uraian saya, kita akan secara ringkas menelusuri perkembangan pemikiran ilmu ekonomi hingga Mazhab Neoklasik. Perkembangan pemikiran ekonomi selanjutnya secara umum tidak beranjak dari arus utama tersebut (Landreth, 1994). Pada bagian ini kita akan melihat betapa ilmu ekonomi menjadi steril dan kering dari nuansa etis. Sterilisasi ilmu ekonomi ini pada akhirnya akan menimbulkan problem kemanusiaan yang pelik, yakni masalah keadilan. Pembahasan akan masalah keadilan akan kita uraikan pada bagian kedua makalah ini. Pada bagian kedua pula, kita akan membahas aspek keadilan distributif dan menggali spirit etis masalah keadilan tersebut dengan mengacu kepada pemikiran-pemikiran abad pertengahan. Pilihan untuk mengacu pada pemikiran ekonomi abad pertengahan seiring dengan adanya kehausan untuk menggali dasar-dasar moral dan etika yang saat ini terasa semakin urgen. Pada bagian ketiga yang merupakan bagian terakhir, kita akan melakukan refleksi atas kebijakan-kebijakan ekonomi yang selama ini kita pilih dan mencoba menemukan kembali ”spirit etis”-nya sehingga ilmu ekonomi lebih berperan dalam menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan.

Newton, Adam Smith dan Neoklasik
Sejarah pemikiran ekonomi mencatat bahwa perkembangan ilmu ekonomi ”modern” bertonggak mulai abad ke-18 dan berpuncak pada Neoklasik. Sejalan dengan perkembangan ilmu alam dan matematika, ilmu ekonomi tidak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu alam dan matematika, khususnya metode berpikir Rene Descartes dan Isaac Newton. Matematika telah menjadi bahasa yang universal dan ilmu ekonomi-pun telah menempatkan matematika sebagai bahasa utamanya untuk menyederhanakan model-model perilaku. Matematika telah ditransformasi sebagai bahasa dalam ilmu sosial, bahkan menurut Samuelson telah menjadikan para ahli fisika menjadi cemburu (Solo, 1991: 97).
Selama lebih dari satu setengah abad, sejak Stanley Jevons dan Carl Menger (Mazhab Austria), matematika telah menjadi alat wajib dan bahasa utama dalam metodologi ilmu ekonomi. Dan semenjak suksesnya revolusi ilmu pengetahuan newtonian, natural laws menjadi basis perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ekonomi.
Selama ini Isaac Newton lebih banyak kita kenal sebagai penemu teori di bidang fisika. Mari kita sedikit mengenal si jenius ini! Pada tahun 1665, ketika Newton berusia 23 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa, Universitas Cambridge tempat Newton belajar ditutup sementara karena wabah penyakit pes. Newton kemudian memutuskan kembali ke kampung halamannya. Selama empat tahun mengasingkan diri, ia melakukan eksperimen-eksperimen yang hasilnya sangat menakjubkan dan menjadi awal revolusi newtonian. Sebelum usianya mencapai 25 tahun, ia telah melahirkan tiga penemuan yang akhirnya mengantarkannya sebagai pemikir ilmiah tertinggi segala zaman. Penemuan Newton yang pertama adalah perhitungan diferensial/ kalkulus yang disebutnya “fluxion”. Perhitungan ini meliputi segala macam yang berkaitan dengan konsep flow, gerakan benda-benda, gelombang dan masalah-masalah pokok fisika. Temuan kedua adalah mengenai spektrum cahaya dan temuan ketiga yang sangat terkenal adalah hukum gaya berat universal. Kehebatan Newton dalam hal ini adalah kemampuannya menjelaskan bahwa gravitasi sebagai hukum universal, sebagai natural law, yang pada akhirnya menjadi inspirasi perkembangan ilmu modern. Dalam revolusi ilmu pengetahuan, Newton merupakan “pesintesis agung” karya-karya Copernicus, Galileo, Kepler, Bacon dan Descartes. Fisika Newton merupakan mahkota prestasi ilmu pengetahuan abad ketujuhbelas yang memberikan suatu teori matematis yang konsisten tentang dunia dan menjadi dasar pemikiran ilmiah hingga abad keduapuluh (Capra, 2000: 66).
Bagaimana pemikiran newtonian ini memengaruhi ilmu ekonomi? Hukum alam Newton yang menjadi dasar teori harmoni (Smith) merupakan buah analogi Smith atas metode yang dikembangkan Newton. Sementara, dukungan Newton terhadap natural theology merupakan dasar yang sama dengan filsafat moral Adam Smith. Sistem ekonomi sebagaimana dikemukakan Smith merupakan analogi sistem alam semesta yang diterangkan oleh Newton.
Mari kita lihat perbandingan tersebut. Sistem Newton mencakup tujuh karakter, yaitu:
1. Adanya keteraturan dan struktur alam yang tampak dalam perilaku yang dapat dipahami oleh pikiran manusia
2. Adanya sistem atau subsistem yang dapat diisolasi dalam struktur alam dan bahwa perilaku alam dapat dipahami sebagai bagian dari sistem atau subsistem yang dapat diisolasi
3. Struktur perilaku alam bergerak dalam suatu sifat universal dan kecenderungan sifat atom atau elemen
4. Hasil tersebut bersifat sistemik, teratur dan harmonis
5. Keteraturan tersebut terjaga melalui suatu keteraturan operasi dalam suatu kecenderungan yang berlawanan
6. Terdapat kekuatan-kekuatan atau faktor-faktor pengganggu yang bekerja dalam suatu sistem tetapi tidak saling mengacau
7. Sistem tersebut akan selalu melakukan penyesuaian otomatis dan melakukan penyeimbangan secara otomatis (self adjusting and self equilibrating).
Menurut Adam Smith, sistem alam semesta Newton mempunyai kesamaan dengan sistem sosial Adam Smith. Oleh karena itu, sistem sosial Adam Smith selalu mengandung tiga elemen dasar, yakni; kepercayaan pada fisika sosial, naturalisme dan derivasi dari teori moral alamiah. Kepercayaan pada fisika sosial akan membetuk suatu kepercayaan bahwa semesta sosial merupakan subyek dari hukum alam (natural law). Sebagaimana dalam alam semesta, hukum alam akan bekerja menurut rencana Allah (God’s blueprint). Naturalisme mempunyai arti dan implikasi bahwa hukum alam menentukan hasil dan juga merupakan sebab sesuatu. Teori moral sosial berpandangan bahwa motivasi dibalik kehendak sosial adalah kebahagiaan (happiness).
Konsepsi Smith akan sistem sosial yang diinterpretasi dari sistem alam semesta Newton dapat dilihat dari:
Intepretasi Smith mengenai masyarakat sebagai suatu sistem alamiah (natural system) secara jelas pararel dengan sistem alam dalam alam semesta Newton. Smith menganalogikan sistem sosial sebagaimana sistem alam semesta Newton dalam ilmu alam. Oleh karena itu, Smith menempatkan sifat-sifat hubungan antar individu sebagaimana sifat hubungan dalam alam semesta. Karena itulah dia menempatkan teori harmoni (natural law). Analogi ini mempunyai konsekuensi bahwa sistem sosial Smith seolah juga merupakan sistem yang dapat diisolasi sebagaimana sistem alam semesta yang bebas nilai
Atom dalam sistem alam semesta dalam sistem sosial Adam Smith adalah individu yang bertindak menurut kehendak yang bersifat umum. Kecenderungan umum ini dapat dibandingkan dengan teori gravitasi Newton yang adalah juga merupakan hukum universal. Kehendak umum yang bersifat harmoni inilah yang oleh Adam Smith diyakini akan menciptakan kesejahteraan suatu bangsa. Di balik kehendak yang bersifat umum itulah bekerja the invisible hand dalam sistem sosial Smith
Operasi sistem sosial dapat dijelaskan dalam konteks blind mechanical (Smith menyebutnya sebagai invisible hand) dan interaksi elemen-elemen yang mendasarkan pada kehendak umum tersebut
Sebagaimana Newton, dalam sistem sosial Smith, kekuatan kepentingan, aturan dan harmoni dalam sistem, bekerja dalam suatu sifat umum yang bekerja mendasarkan pada kecenderungan yang berlawanan melalui operasi yang bersifat teratur. Bekerjanya kekuatan yang saling berlawanan dalam suatu hubungan yang bersifat harmoni inilah yang akhirnya menciptakan adanya keseimbangan. Hubungan dan sifat ini juga merupakan analogi dalam teori gravitasi
Menurut Newton, sistem alam akan selalu melakukan penyesuaian otomatis (self adjusting) dan mencapai keseimbangan secara otomatis (self equilibrating). Dalam sistem sosial Smith, self adjusting dan self equilibrating juga akan terjadi. Penyesuaian dan penyeimbangan secara otomatis ini terjadi karena sifat dasar manusia yang pada dasarnya mempunyai sifat original nature (self-interest) dan social nature (sympathy). Keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan bersama inilah yang akan menciptakan hubungan yang harmonis dan seimbang dalam perilaku individu-individu dalam sistem sosial Smith.
Dalam buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nations (WN), Smith dengan sangat jelas menyakini prinsip-prinsip hukum alam tersebut dan melahirkan teori harmoni-nya. Konsep mekanisme pasar yang digerakkan oleh kekuatan-kekuatan yang berlawanan dan yang secara otomatis akan menciptakan keseimbangan yang diperkenalkan oleh Smith berangkat dari analogi hukum alam tersebut. Namun, sebagaimana Newton yang selalu mengingatkan adanya peran “The Supreme”, Smith-pun demikian. The invisible hand semestinya dilihat dalam konteks filsafat moral Adam Smith.
Memahami filsafat moral Smith hanya dalam konteks mekanisme pasar atau bahkan hanya dalam konteks ideologi kebebasan individual jelas tidak tepat. Oleh karena itu, memahami Smith harus juga melihatnya dalam konteks natural theology yang ada dalam bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiments (TMS). Memang tampak agak kontras dengan apa yang ditulisnya di WN, dalam TMS secara eksplisit Smith menempatkan the original nature (self interest) dan social nature (sympathy) yang ada dalam diri manusia dan sebagai watak dasarnya, analog dengan sifat dasar gravitasi, di mana adanya kekuatan yang berlawanan akan menciptakan keseimbangan. Dalam konteks filsafat, the invisible hand tersebut dimunculkan sebagai sense of self restraint (pengendalian diri) yang merupakan simpul pengikat antara self interest (manusia sebagai individu) dengan social nature (manusia sebagai makluk sosial). Dikemukakan juga bahwa self restraint ini berdiri di atas fondasi/ azas sense of justice dan sense of ethic. Kebebasan individu menurut Smith adalah kebebasan dalam kerangka hukum keadilan (Smith, 1976: 687; Clark, 1992: 48).
Dalam ilmu ekonomi, sifat dasar yang mementingkan diri sendiri (self interest) tersebut mewujud dalam bentuk dan orientasi untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya (maximum utility) dalam hubungan antar individu. Prinsip keuntungan maksimum dalam teori ekonomi mikro yang kita kenal sebagai asumsi klasik pada dasarnya diturunkan dari sifat dasar tersebut. Sementara, social nature dalam hubungan ekonomi mewujud dalam bentuk adanya transaksi atau pertukaran (exchange) antar individu karena kedua pihak memang saling memerlukan. Pasar sebagai media transaksi dengan demikian juga seharusnya merupakan media yang menyeimbangkan kedua sifat dasar tersebut. Oleh karena itu pula, Smith selalu mengingatkan agar setiap individu tidak menyimpang dari hukum keadilan:
“Hanya kalau setiap individu; yang bebas, tidak menyimpang dari hukum keadilan, maka kesejahteraan umum akan dapat dicapai” (Smith 1976: 687).
Dengan mengingatkan setiap individu dalam saling berinteraksi di pasar harus tidak menyimpang dari hukum keadilan, Smith sesungguhnya ingin memberi ruang pada aspek-aspek kelembagaan bahkan juga dimensi-dimensi sejarah dan budaya dalam perilaku antar individu. Dengan demikian, walaupun dalam analisis sosialnya Smith menggunakan pendekatan newtonian, tetapi secara implisit ia sudah menempatkan ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial yang tidak bebas nilai. Akan tetapi, pemikiran Smith ini kemudian disterilisasi oleh kelompok marginalis yang berkembang setelah Smith. Revolusi utilitas marginal bisa dipandang sebagai tonggak awal dari sterilisasi ilmu ekonomi dari konteks sosialnya.
Metode newtonian dalam ilmu ekonomi mencapai puncaknya pada Mazhab Austria dengan tokoh-tokohnya; W.S. Jevons (Theory of Political Economy, 1871), Carl Menger (Principles of Economics, 1871) dan Mazhab Lausanne dengan tokohnya Leon Walras (Elements of Pure Economics, 1874) yang kemudian disintesiskan oleh Alfred Marshall (Principles of Economics, 1891).
Perkembangan ilmu ekonomi sesudah Adam Smith tidak bisa dilepaskan dari filsafat Jeremy Bentham yang kita kenal sebagai utilitarianisme. Pemikiran-pemikiran Bentham sangat dipengaruhi oleh John Locke dan Newton. Bentham memang tidak seluruhnya sepaham dengan pemikiran Smith, tetapi dalam memandang sistem sosial, ia sama dengan Smith. Ia memandang bahwa sistem sosial diatur oleh hukum alam. Bahkan, ia berkehendak menjadikan the newton of moral world. Pemikiran-pemikiran Bentham ini akan memengaruhi pemikiran dalam ilmu ekonomi melalui Stanley Jevons.
Bagi Jevons, ilmu ekonomi adalah sains matematika karena ilmu ekonomi haruslah selalu kuantitatif. Kita perhatikan kutipan berikut:
“... Tidak diragukan lagi, bahwa kesenangan, tenaga kerja, utilitas, nilai, kekayaan, uang modal dan sebagainya semuanya adalah kuantitiatif.” (Clark, 1992: 119).
Jevons sama sekali tidak membiarkan sejarah memengaruhi perkembangan teori ekonomi. Bahkan dalam teorinya mengenai pertukaran, ia mengemukakan bahwa teori pertukaran dibentuk atas dasar fondasi individual dan fondasi hedonistik. Dalam pandangan Jevons, teori ini merupakan hukum alam, sekaligus ia mengabaikan social nature–nya Adam Smith. Di tangan Jevons ilmu ekonomi jelas-jelas merupakan ilmu yang bebas nilai.
Setelah Jevons, fenomena sosial dalam ekonomi diangkat oleh Carl Menger. Menger inilah yang mengangkat exact law dalam mencari penjelasan esensi struktur realitas dalam sistem sosial. Ia membuat pembedaan antara sains teoritis (theoretical sciences) dengan sains historis empiris (historical-empirical sciences). Dari Menger revolusi marginal utility bermula yang sekaligus menandai bermulanya Mazhab Neoklasik.
Perkembangan ilmu ekonomi setelah Jevons dan Menger ditandai oleh pemikiran Leon Walras dengan konsepsinya mengenai keseimbangan umum. Walras sendiri percaya bahwa ilmu ekonomi adalah “physio-mathematical science” yang secara lengkap merupakan analogi dari fisika. Oleh karena itu, ia menyatakan:
“... The law supply and demand regulates on exchanges of commodities just as the law of gravitation regulates the movements of celestial bodies....”. (Clark, 1992 )
Perkembangan selanjutnya dalam alam pemikiran Neoklasik dipuncaki oleh Alfred Mashall. Alfred Marshall, merupakan generasi penerus Mazhab Neoklasik yang sampai saat ini menguasi pemikiran ekonomi arus utama. Dengan melakukan sintesis dan pengembangan berbasiskan tradisi marginalis dan pemikirian aliran klasik, ia membangun teori nilai marginal-nya (Marginal Utility Theory of Value) yang sangat menguasai pemikiran ekonomi dewasa ini. Bagi para marginalis, utility berperan sebagai penggerak dan kekuatan pengatur. Utility akan menentukan motivasi dan tindakan manusia. Nilai suatu macam barang ditentukan oleh kelangkaannya dan kelangkaan itu yang akan menentukan dis-utility dari mengonsumsi suatu macam barang. Oleh karena itu, nilai suatu macam barang akan ditentukan oleh bekerjanya dua kekuatan hukum alam yang bekerja secara serentak, yakni; kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran yang akan mencapai keseimbangan karena bekerjanya hukum alamiah.
Dari uraian singkat di atas dapat diketahui dengan sangat jelas bahwa dasar filosofis pemikiran Neoklasik adalah filsafat utilitarianime. Asumsi “maksimisasi laba” sebagai tujuan perusahaan atau maksimisasi utilitas dalam teori perilaku konsumen digali dari dasar pemikiran Neoklasik yang merupakan representasi dari sense of self interest. Hubungan antar individu dalam pemikiran Neoklasik juga selalu mendasarkan pada asumsi distrust dan hubungan yang rasional. Asumsi distrust akan termanifestasikan dalam hubungan transaksional yang selalu mendasarkan pada hubungan kontraktual antar agen-agen ekonomi (agency theory). Sementara itu, asumsi rasionalitas akan termanifestasikan dalam prinsip-prinsip efisiensi.
Asumsi-asumsi dasar Neoklasik tersebut boleh dikatakan sebagai hasil pemisahan diri ilmu ekonomi dari sistem nilai sosialnya. Dalam perilaku ekonomi mikro khususnya, fokus tertuju pada masalah alokasi yang efisien dari sumber-sumber ekonomi melalui sistem harga dan interaksi antara permintaan dan penawaran. Bahkan Lionel Robbins secara tegas membatasi ilmu ekonomi menjadi jauh lebih sempit lagi.
Pemisahan ilmu ekonomi dari sistem nilai sosial ini merupakan manifestasi atau bentuk pendekatan metode cartesian dalam ilmu-ilmu sosial. Metode cartesian akan selalu berangkat dari tesis pemisahan antara akal dan materi. Oleh karena itu, penerapan metode cartesian dalam ilmu ekonomi sekaligus merupakan dasar filosofis sekularisasi ilmu ekonomi. Penerapan metode cartesian dalam ilmu ekonomi juga merupakan upaya ilmu ekonomi menjadi ilmu sosial yang bebas nilai sehingga akan berlaku universal sebagaimana halnya ilmu alam. Dengan cara pandang ini, perekonomian direduksi sebagai struktur yang terdiri dari gerak benda-benda yang mengikuti hukum tarik menarik kekuatan gravitasi. Sebagai akibatnya, hubungan antar individu dipahami sebagai suatu sistem yang isolated dan mekanis yang bisa digambarkan secara obyektif dan deterministik.
Dalam alam pemikiran Neoklasik, matematika telah menjadi bahasa yang utama untuk menerjemahkan “korpus” ilmu ekonomi yang bersifat verbal menjadi simbol-simbol matematika. Berkaitan dengan ini Samuelson (Solo, 1991: 98) mengatakan pem-bahasa-an ilmu sosial ke dalam matematika ini untuk membuka pernyataan-pernyataan umum dalam teori menjadi penyataan definitif untuk diuji dan difalsifikasi melalui prediksi inferensial demi kemajuan ilmu ekonomi menuju kebenaran yang lebih besar. Seiring dengan pemanfaatan matematika untuk abstraksi model perilaku, ilmu ekonomi semakin menjadi steril sebagai ilmu sosial.
Sterilisasi ilmu ekonomi akan membawa ke arah metode analisis yang un-historic dan un-social (Clark,1992: 3). Mahasiswa fakultas ekonomi juga lebih mengenal keseimbangan pasar sebagai bentuk hasil interaksi kurva permintaan dan penawaran daripada mengenal bahwa interaksi tersebut sebagai suatu fenomena ekonomi yang unik, yang mempunyai keunikan proses dalam sejarah waktu dan juga merupakan pengungkapan fakta kelembagaan (yang kemudian disebut “pasar”) bahkan juga merupakan pengungkapan sebuah perilaku moral (the invisible hand).
Dalam hal ini saya berpendapat bahwa penguasaan alat matematika, statistika, ekonometrika tetaplah sangat penting. Akan tetapi, menguasi alat tetaplah sebagai media abstraksi untuk mengetahui perilaku. Matematika bukanlah sebagai pengganti pemikiran (Cooter, 1983: 27). Jangan sampai ilmu ekonomi kehilangan relevansinya sebagai ilmu sosial.
Sterilisasi ilmu ekonomi dengan sendirinya menjadikan fenomena-fenomena perilaku yang dinamis terabaikan dalam analisis ekonomi. Padahal ekonomi sebagai suatu sistem sosial akan selalu berevolusi tergantung pada ekologi sosial yang melingkupinya. Oleh karena itu, untuk memahaminya perlu kerangka konseptual yang juga mampu beradaptasi secara terus-menerus.
Paradigma cartesian dan metode newtonian dalam ilmu ekonomi dengan demikian hampir tidak pernah akan bersentuhan dengan realitas-realitas dewasa ini. Nilai-nilai yang muncul dalam model ekonomi kita dewasa ini hanya nilai-nilai yang bersifat kuantitatif, kering, tanpa nuansa dan tanpa konteks. Penekanan pada kuantifikasi ini membuat ilmu ekonomi sangat membatasi teori-teori ekonomi untuk tidak memasukkan dimensi-dimensi ekologi sosial, psikologi aktivitas ekonomi, politik, keadilan yang bersifat kualitatif. Pemisahan ala cartesian dan abstraksi kuantitatif newtonian inilah yang telah menjauhkan ilmu ekonomi dari realitas sosialnya.

Ilmu Ekonomi dan Keadilan
Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus dihapuskan atau direformasi jika tidak adil (John Rawls, 1995: 1). Utilitarianisme yang menjadi fondasi filosofis dan etis ilmu ekonomi Neoklasik mempunyai implikasi yang luas terhadap perilaku masyarakat. Prinsip dasar utilitarian adalah ”The greatest good for the greatest number” yang intinya suatu tindakan dikatakan etis kalau memberikan manfaat bagi bagian terbesar orang/ masyarakat. Prinsip ini bisa menjadi legitimasi etis atas kebijakan ekonomi yang tidak adil. Dengan prinsip itu pula, tirani mayoritas seolah mendapatkan legitimasi etisnya. Di atas filsafat utilitarian ini pula kapitalisme modern Eropa Barat yang mulai tumbuh dan berkembang pada abad ke-18 bersamaan dengan revolusi industri di Eropa mendapatkan dasar filosofisnya.
Prinsip keadilan utilitarian Neoklasik berbeda dengan prinsip keadilan komutatif Adam Smith dan prinsip keadilan John Rawls. Bagi Smith, keadilan komutatif berkaitan dengan pemulihan kembali atas berbagai kerusakan dan kerugian yang terjadi karena transaksi sosial serta berkaitan dengan pertukaran yang fair. Prinsip dasar ini mempunyai dua makna sekaligus, yakni; (1) kewajiban untuk mempertahankan hak-hak individual sampai titik di mana ia secara sah dan adil dapat memaksa orang lain untuk mengakui hak-haknya dan (2) kewajiban kita untuk tidak melanggar hak dan kepentingan orang lain. Jadi, keadilan komutatif Smith mendasarkan pada prinsip no harm, no-intervention dan fairness dalam pertukaran. Oleh karena itu, sistem pasar bebas menjadi mekanisme yang paling layak untuk menciptakan fairness tersebut. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Buchanan (1983), pertanyaannya kemudian adalah: ”Apa itu fairness?” Menurut Buchanan, fairness berkaitan dengan kontrak dan persetujuan. Aturan yang fair adalah ketika para pelaku kontrak bersepakat atas aturan yang berlaku bagi mereka. Jadi, fairness berkaitan dengan persetujuan. Meskipun demikian, fair rule tidak berkait langsung dengan justice (keadilan).
Pada ekonomi pasar, aturan yang fair tidak selalu menciptakan distribusi ekonomi yang adil. Dan dalam realitasnya, hasil atau sumbangan distribusi ekonomi ditentukan oleh keberadaan struktur kelembagaan (Buchanan, 1983: 56). Struktur kelembagaan merupakan suatu sistem interaksi kompleks dari kombinasi pasar dan politik dalam suatu hubungan interseksional dan tidak jarang menimbulkan konflik. Pada titik pandang seperti itulah, Frank Knight (Buchanan ,1983: 58), mengatakan bahwa dalam ekonomi pasar, hak (claim) ditentukan oleh keturunan (birth), keberuntungan (luck) dan usaha (effort). Sementara Buchanan menambahkan satu faktor lagi, yakni; pilihan (choice).
Pengakuan atas empat faktor tersebut sebagai determinan distribusi ekonomi merupakan pengakuan atas peran adanya perbedaan bakat atau kapasitas bawaan (genetic capacities) yang juga akan berpengaruh terhadap distribusi ekonomi. Pengakuan ini sekaligus merupakan bentuk koreksi atas asumsi dasar Neoklasik akan terdapatnya kesamaan kapasitas bawaan di balik asumsi bekerjanya mekanisme pasar. Berangkat dari sudut pandang itu, keadilan distributif dari suatu proses ekonomi yang berbasiskan pada teori Neoklasik dan mekanisme pasar secara intrinsik akan menciptakan ketidakadilan (un-justice). Dalam pendekatan Neoklasik, distribusi hasil merupakan fungsi dari nilai produktivitas marginal dan sumbangan faktor produksi. Dengan ilustrasi sederhana berikut ini, hubungan fungsional tadi dapat dengan mudah dipahami. Apabila:
dengan Q adalah nilai output, K adalah faktor produksi kapital dan L adalah faktor produksi tenaga kerja, dan
dimana r adalah nilai produktivitas kapital dan w adalah nilai produktivitas tenaga kerja, maka distribusi hasil adalah:
dimana adalah bagian hasil yang diterima oleh pemilik kapital dan merupakan bagian hasil yang diterima oleh pemilik tenaga kerja.
Pada suatu sistem produksi di mana kapital menjadi yang dominan dan nilai produktivitas kapital menjadi penyumbang terbesar, maka menurut sistem pasar adalah fair apabila pemilik kapital mendapat bagian terbesar dalam sistem distribusi hasil. Sebaliknya, karena produktivitas tenaga kerja rendah, maka adalah cukup fair pula apabila tenaga kerja hanya mendapatkan bagian yang kecil. Dalam sistem pasar ini, efisiensi bisa dicapai tanpa harus ada jaminan terciptanya keadilan (justice). Kiranya dengan contoh berikut ini persoalan akan menjadi lebih jelas. Dalam sistem pengupahan, penetapan upah buruh yang rendah disebabkan adanya anggapan produktivitas buruh yang rendah. Buruh sendiri tidak pernah mengetahui berapa besar produktivitas mereka karena tidak adanya alat penilaian kinerja yang obyektif dan transparan. Sementara, ketika para buruh menuntut kenaikan upah, yang datang kemudian adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) atau ancaman akan diganti tenaga kerja lain yang juga membutuhkan pekerjaan. Bahkan demi meningkatan laba atau mempertahankan laba, para pengusaha tidak akan segan melakukannya dengan tidak menaikkan upah para pekerja. Jika demikian, bisa jadi laba yang diperoleh para pengusaha sebagian adalah bukan miliknya tetapi sesungguhnya adalah milik para pekerja. Menurut pendapat saya, pola kerja demikian ini merupakan turunan dari pola pikir hampir sebagian besar dari kita sekarang ini.
Pada aras ekonomi makro, konsekuensi ekstrim dengan mengikuti pendekatan Neolasik tersebut adalah suatu kewajaran belaka apabila pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi orientasi utama dan dasar strategi kebijakan ekonomi harus dibayar dengan tingginya kesenjangan (in-equality) ekonomi, bahkan tingkat kemiskinan. Dengan demikian jelas, menurut pendekatan Neoklasik kemiskinan dan kesenjangan merupakan ongkos wajar -dengan begitu juga legitimate- dari suatu kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth oriented). Bertitik-tolak dari cara pandang itu pula, tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, besarnya tingkat kesenjangan yang terjadi dalam perekonomian kita saat ini adalah ”harga wajar” yang harus kita bayar dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama ini. Benar bahwa strategi tersebut legitimate secara teori, tetapi hal ini merupakan ongkos sosial (social cost) yang sangat mahal.
Keadilan distributif seperti itulah yang menurut Rawls akan menciptakan ketidakadilan karena setiap orang yang masuk ke dalam sistem pasar dibekali dengan bakat dan kapasitas bawaan yang berbeda, walaupun pasar telah memberikan peluang yang sama kepada setiap individu. Oleh karena itu, bagi Rawls pasar justru merupakan pranata yang tidak adil. Kebebasan pasar hanya memenuhi prinsip keadilan dalam kesamaan hak dan kesamaan kesempatan (equal treatment for equals). Atas dasar itulah, Rawls mengajukan prinsip perbedaan sebagai prinsip keadilan. Di atas dasar prinsip perbedaan ini, ketidaksamaan sosial dan ekonomi menjadi dasar etis bagi pemerintah untuk campur tangan dan mengatur kegiatan ekonomi sedemikian rupa sehingga pengaturan tersebut akan menguntungkan mereka yang kurang beruntung.
Dengan masih mendasarkan pada prinsip utilitarian, John Stuart Mill mengusulkan perlunya pemerintah mengenakan pajak demi keadilan. Menurut Mill, pajak yang dikenakan haruslah pajak progresif. Dengan semakin banyaknya uang dan juga berbagai bentuk kekayaan lain yang dimiliki seseorang, utilitas marginal kekayaan tersebut semakin menurun. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesejahteraan, pengenaan pajak progresif merupakan instrumen yang adil untuk melakukan redistribusi dari si kaya kepada si miskin. Ini karena, berdasarkan pada prinsip utilitarian, transfer uang dari yang kaya kepada yang miskin akan menjadikan uang tersebut mempunyai utilitas yang lebih tinggi pada yang miskin.
Kelemahan mekanisme keadilan dengan menggunakan pajak ini adalah karena sifatnya yang tidak interpersonal. Kekurangan inilah yang kemudian dilengkapi oleh Vilfredo Pareto (1848-1923). Proposisi Pareto tentang keadilan adalah kenaikan kesejahteraan masyarakat akan terjadi jika kenaikan kesejahteraan (better off) satu orang atau lebih tidak menyebabkan pihak lain berkurang kesejahteraanya (worse off). Ini berbeda dengan prinsip efisiensi Pareto yang mengatakan bahwa kenaikan kesejahteraan (better off) masyarakat akan terjadi hanya jika ada pihak lain yang berkurang kesejahteraannya (worse off). Keadilan interpersonal model Pareto ini hanya akan tercipta apabila setiap pelaku yang melakukan interaksi dalam posisi asali yang sama dan terjadi informasi yang simetris (Dowling dan Valenzuela, 2004: 339). Namun, prinsip keadilan Pareto tetap masih mengandung kelemahan dasar yang sama dengan Neoklasik karena sistem ini tetap mengandaikan berlakunya mekanisme pasar dan kesamaan kapasitas bawaan para pelakunya. Solusi Pareto akan konsisten dengan prinsip keadilan Rawls apabila peningkatan kesejahteraan menurut model Pareto berangkat dari kendala pada tingkat kesejahteraan tertentu bagi yang paling tidak beruntung.
Jadi, keadilan memerlukan peran pasar dan pemerintah sekaligus. Pemerintah dan pasar harus saling melengkapi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan pembangunan harus selalu mempertimbangan interdependensi antara pemerintah dengan pasar. Tugas pemerintah adalah menciptakan aturan main (rule of law) agar pasar bekerja efisien (market-enhancing) dan sekaligus harus menciptakan perlidungan (protection) dan memberdayakan (empowering) bagi yang akan tersingkir dan tidak beruntung dalam sistem pasar tersebut. Dengan demikian, dalam pembangunan ekonomi, efisien saja belum cukup, tetapi harus juga melindungi dan memberdayakan.
Menyadari akan perbedaan kapasitas asali dan kemampuan bawaan sebagai perbedaan yang sifatnya alamiah (genetic capacity and talent), maka menyerahkan perekonomian sepenuhnya pada sistem pasar tanpa pengaturan pemerintah yang didasari nilai-nilai etis akan justru menyebabkan semakin jauhnya keadilan (justice) untuk dapat digapai. Spirit etis inilah yang saat ini diperlukan untuk menjadikan ilmu ekonomi lebih relevan dan tidak terlepas dari nilai-nilai sosialnya. Dengan demikian, ilmu ekonomi haruslah ilmu yang tidak steril, tidak bebas nilai dan selalu dalam konteks sosialnya. Bahkan menurut Myrdal (Myrdal, 1988), tidak pernah ada ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi, yang netral bahkan juga tidak pernah obyektif.

Etika Ekonomi Abad Pertengahan
Joseph Alois Schumpeter (1954) dalam bukunya History of Economic Analysis menyatakan adanya gap besar dalam perkembangan ilmu ekonomi antara zaman Yunani dan zaman Skolastik Latin-Eropa. Di antara zaman tersebut, menurut Schumpeter tidak ada tulisan yang relevan mengenai perkembangan ilmu ekonomi. Pendapat demikian tampaknya tidak sepenuhnya benar. Ini terjadi karena Schumpeter tidak terlalu mempunyai perhatian terhadap literatur ekonomi Islam-Arab pada abad pertengahan (Ghazanfar dan Islahi, 1992).
Hampir semua literatur sejarah pemikiran ekonomi yang sampai saat ini kita pelajari jarang sekali membahas mengenai perkembangan pemikiran ekonomi Islam abad pertengahan tersebut. Tentunya kita tidak akan membahas semua pemikiran ilmu ekonomi dari tokoh-tokoh abad pertengahan. Pada kesempatan ini, saya akan menguraikan secara ringkas tiga pemikir ekonomi abad pertengahan, yaitu; Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111), Santo Thomas Aquinas (1225-1274) dan Ibn Taimiyah (1263-1328). Perlu saya kemukakan lebih dahulu bahwa tujuan mengemukakan pemikiran ekonomi ketiga ”scholar” tersebut adalah bukan untuk membahas isi analisis (content analysis) pemikiran ekonomi (apalagi dari aspek teologisnya) dan menganalisis kontroversi interpretatif dari ketiga pemikir tersebut, melainkan saya berharap kita bisa memahami content metodologi pemikiran ekonomi yang telah mereka kembangkan. Dalam menguraikan pemikiran ketiga tokoh tersebut saya banyak mengacu pada literatur-literatur yang mengupas perbandingan pemikiran ekonomi ketiga tokoh itu (Ghazanfar, 2000; Ghazanfar & A. Azim Islahi, 1992; Yassine Essid, 1992). Pemikiran ekonomi Al-Ghazali banyak dituangkan dalam bukunya Ihya’ ’Ulumiddin dan pemikiran Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologia (Ghazanfar, 2000) sedangkan pemikiran Ibn Taimiyah dituangkan dalam buku-buku -yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris- Public Duties in Islam: The Institution of Hisbah ( Al-Hisbah fi’l Islam) dan Public and Private Law in Islam ( al-Siyasah al-Syariyah fi Islah al-Rai wa’l Raiyah) (Ghazanfar & A. Azim Islahi, 1992).
Isu-isu ekonomi yang dikemukakan Aquinas tertuang dalam Summa (II.II. Q77): On Cheating yang berkaitan dengan buying dan selling serta Summa (II.II, Q78): Of the Sin of Usuary yang berkaitan dengan loan. Sementara Al-Ghazali membahas isu-isu ekonomi secara detil (Ihya’ ’Ulumiddin, jilid 4 bab 3) yang diantaranya meliputi; keutamaan kerja dalam penghidupan, hukum dalam bisnis dan perdagangan, riba, elemen pertukaran, praktik kompensasi, pinjaman dan meminjamkan, kebenaran dan keadilan, kebajikan dalam bisnis dan aktivitas perdagangan.
Ada beberapa kesejajaran dan kesamaan -bukan hanya dalam pilihan topik tetapi juga dalam isi- antara Al-Ghazali dengan Thomas Aquinas (Ghazanfar, 2000: 871-883)). Pertama, tentang harga. Harga dalam pandangan Thomas Aquinas adalah harga yang adil (just price). ”Adalah dosa” begitu dikemukakan oleh Thomas Aquinas jika seseorang menjual sesuatu lebih dari harga yang adil karena hal itu menipu seseorang dan merugikannya. Kecurangan dalam perdagangan, apakah berwujud pemalsuan pengukuran maupun kualitas adalah haram. Ia memberikan ilustrasi demikian; apabila seseorang menjual seekor hewan yang sakit dan dia sadar akan hal itu serta tidak mengatakannya kepada pembeli, kemudian mengatakan hewan itu sehat, maka dia berdosa dan penjualan itu haram. Dalam hal ini, penjual diikat untuk memberikan kompensasi atas kerugian pembeli. Berkaitan dengan hal ini Thomas Aquinas menekankan pentingnya unsur kejujuran termasuk dalam memberikan informasi pasar (symmetrical information) merupakan faktor penting dan harus dipenuhi dalam hubungan transaksi.
Tentang harga, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa adalah bengis dan berdosa menjual barang dengan tipu muslihat pada harga yang lebih dari harga yang berlaku (prevailing price). Menurut Al-Ghazali, seseorang harus tidak melakukan kepada yang lain apa yang ia tidak ingin lakukan kepada dirinya sendiri (Ghazanfar, 2000: 872). Barang dijual harus tidak melebihi nilai barang itu, untuk tidak hanya menjadikan dusta tetapi juga kebohongan, karena itu kejam dan berdosa. Para penjual harus jangan mencoba menyembunyikan kerusakan dan kesalahan, sebaliknya, ia harus memberikan informasi secara detil kepada pembeli untuk tidak menjadikan terjadinya kecurangan. Keharusan untuk tidak melakukan kecurangan juga untuk timbangan dan pengukuran jumlah barang serta keharusan untuk sepenuhnya bertindak tepat dan jujur. Bahkan Al-Ghazali menasihatkan jika pembeli menawarkan harga yang lebih tinggi relatif terhadap harga yang berlaku, penjual seharusnya tidak menerima karena akan menciptakan keuntungan berlebihan, meskipun menerima harga tersebut tidak menjadikan tidak adil dan tidak ada kecurangan. Ia sangat menuntut perilaku para pelaku pasar seharusnya selalu berbuat kebajikan (ihsan).(ket: penjelasan mengenai pemahaman harga yang adil ini juga dapat dilihat dari H.R. at-Tirmizi No.1235 pada CD-ROM Mawsu’ah al-Hadits; Buletin Dakwah, 15 Desember 2000)
Kedua, tentang riba (usury). Riba mungkin menjadi subyek yang paling banyak didiskusikan dan banyak kontroversi dalam perdebatan di abad pertengahan. Dalam pandangan Thomas Aquinas, uang diciptakan terutama untuk tujuan pertukaran. Konsekuensinya, prinsip penggunaan uang adalah untuk konsumsi. Oleh karena itu, tidak sah mengambil pembayaran dari meminjamkan uang atau yang dikenal sebagai riba. Sedangkan menurut Al-Ghazali, mengenakan bunga berarti membelokkan uang dari fungsinya. Praktik riba adalah sebuah pelanggaran atau dosa karena uang diciptakan tidak untuk dirinya sendiri. Uang ibarat cermin yang tidak berwarna tetapi merefleksikan semua warna. Uang tidak mempunyai harga tetapi merefleksikan semua harga (lihat juga: Adiwarman Karim, 2002: 10). Apabila seseorang menjual uang dengan uang (untuk mendapatkan “gain”) dan transaksi itu menjadi tujuannya, uang tersebut akan terpenjarakan.
Baik Thomas Aquinas maupun Al-Ghazali masih banyak membahas aspek-aspek ekonomi lain, seperti; nilai dan harga, keuntungan yang wajar, hak milik pribadi, pemalsuan dan penurunan nilai uang (inflasi). Terhadap masalah keuntungan, pandangan Thomas Aquinas memang tidak terlalu tegas sebagaimana pandangan Al-Ghazali. Menurut Thomas Aquinas, keuntungan dari para pedagang dan penukar uang selalu mempunyai implikasi kerugian terhadap pihak lainnya dan karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan komutatif. Sementara, meskipun Al-Ghazali jelas-jelas berpendapat bahwa motif dibalik aktivitas ekonomi adalah keuntungan, ia mengritik keuntungan yang berlebihan. Al-Ghazali mengusulkan keuntungan wajar (antara 4 persen – 10 persen dari harga barang). Apabila kemudian terjadi kelebihan keuntungan (excess profit atau mungkin sama dengan economic profit menurut Mazhab Klasik) karena suatu kekeliruan maka mereka harus memberi secara karitatif (Ghazanfar, 2000: 879). Pandangan mengenai keuntungan yang wajar ini sejajar dengan konsep keuntungan normal yang dikenalkan oleh Adam Smith enam abad kemudian. Pemikir ekonomi abad pertengahan lain yang menurut saya harus mendapat tempat dalam pembelajaran ilmu ekonomi adalah Taqi al-Din Ahmad bin’Abd al Halim atau yang lebih dikenal dengan Ibn Taimiyah. Dalam pemikiran ekonomi-nya (Ibn Taimiyah’s Economic Thought), Ibn Taimiyah menyajikan diskursus yang sangat luas yang meliputi banyak bidang dalam suatu pendekatan yang holistik dengan perspektif filsafat, religius, etika, sosiologis dan tentunya ekonomi. Oleh karena itu, sangatlah tidak mengherankan apabila diskursus ini mencakup banyak bidang, seperti; peranan uang, hak-hak kepemilikan pribadi, peranan sektor publik (termasuk pengaturan harga), keuangan negara, bentuk-bentuk organisasi bisnis, masalah distribusi pendapatan dan kekayaan, kemisikinan dan masih banyak yang lain. Tentunya pada kesempatan ini, kita hanya akan membicarakan beberapa saja diantaranya.
Walaupun tidak menggunakan istilah yang eksplisit seperti halnya ekonomi klasik, Ibn Taimiyah telah mengemukakan terminologi ”kompetisi” dalam operasi kebebasan pasar. Ia menekankan pentingnya kebebasan untuk masuk dan keluar (free entry – exit) pasar. Ia pun mengkritik kolusi antara penjual dan pembeli. Ia menekankan pentingnya pengetahuan mengenai pasar bagi para pelaku, sekaligus menekankan kejujuran, permainan yang fair dan kebebasan sebagai esensi yang harus ada (bandingkan dengan pasar persaingan sempurna dalam ekonomi klasik). Di samping memahami dengan baik fungsi dari pertukaran sukarela dan bagaimana permintaan dan penawaran akan menentukan tingkat harga, Ibn Taimiyah juga memahami dengan baik faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran permintaan dan penawaran sekaligus tidak perlunya campur tangan pemerintah di pasar tanpa adanya alasan yang kuat seperti ketidaksempurnaan atau karena adanya kejadian seperti perang. Di bagian lain, ia menekankan perlunya regulasi dan kontrol terhadap harga ketika terjadi ketidaksempurnaan pasar (praktik monopoli). Ia tidak terlalu percaya dengan mekanisme pasar otomatis (self regulating market mechanism) meskipun ia menyarankan perlunya pasar yang kompetitif.
Dengan kembali kepada sejarah pemikiran ekonomi abad pertengahan tersebut, saya ingin mengajak kita semua untuk kembali menyadari bahwa ilmu ekonomi mempunyai dasar-dasar etis yang sangat kuat. Uraian di atas memberikan ilustrasi akan arti penting dan peran agama, moral, etika dan tata nilai dalam metodologi ekonomi abad pertengahan, baik dari pemikir ekonomi Latin-Eropa maupun Islam-Arab. Sebab, sesungguhnya tidak ada ilmu sosial atau cabang riset sosial yang dapat berpura-pura ”a-moral” atau ”a-politik” (Myrdal, 1988). Kita juga sekaligus dapat melihat adanya kesejajaran dan kesamaan pemikiran -di luar pebedaan yang ada- dari para pemikir ekonomi tersebut baik antar pemikiran mereka maupun dengan pemikiran ekonomi pada abad-abad sesudahnya. Dari perspektif sejarah pemikiran, kita juga melihat bahwa great gap yang menciptakan keterputusan perkembangan pemikiran dari masa Yunani ke Skolastik sebagaimana dikemukakan Schumpeter terjawab sudah.
Yang sangat penting untuk kita perhatikan adalah semua pemikir ekonomi abad pertengahan tersebut selalu menempatkan keadilan sebagai spirit etis dalam setiap aktivitas ekonomi suatu masyarakat. Berkaitan dengan hal ini pula, pertanyaan lain yang relevan dikemukakan adalah apakah terdapat interaksi kausal antara nilai-nilai religiusitas dalam agama dengan pembangunan ekonomi suatu bangsa. Menurut Baro dan McCleary (2002) terdapat dua kemungkinan arah kausalitas hubungan antar keduanya. Pertama berdasarkan hipotesis sekuler yang berpandangan bahwa nilai-nilai religiusitas dalam agama merupakan variabel endogen. Kedua, mengikuti tesis Weber (Baro and Mc.Cleary, 2002: 11; Weber, 2006) bahwa nilai-nilai agama akan dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap pembangunan ekonomi atau dengan kata lain menyatakan nilai-nilai agama merupakan variabel eksogen. Dalam hal ini, saya mengikuti pandangan yang kedua, yaitu nilai-nilai religiusitas dalam agama merupakan variabel eksogen dan menjadi spirit etis dalam pembangunan ekonomi. Secara implisit saya berpendapat bahwa nilai-nilai etis tersebut seharusnya terinternalisasi dalam setiap aktivitas dan kebijakan ekonomi.

Kebijakan Ekonomi, Demokrasi dan Rule of Law
Etika ekonomi abad pertengahan selalu menempatkan keadilan sebagai titik sentral sekaligus pengikat dalam setiap aktivitas ekonomi. Dan sumber nilai tersebut adalah moralitas agama. Bagaimana menjadikan spirit etis tersebut sebagai landasan dalam kebijakan ekonomi? Apakah ilmu ekonomi masih mampu menjawab persoalan-persoalan riil yang kita hadapi?
Pragmatisme dan hedonisme telah mendorong terjungkirbaliknya norma-norma dan etika. Berbagai macam kasus yang terjadi dalam bidang ekonomi memberi gambaran betapa norma dan etika tersebut telah banyak diabaikan. Kebangkrutan industri perbankan hanya dipandang sebagai kesalahan dalam manajemen dan bukan karena kesalahan paradigma serta moral hazard, khususnya dalam penyaluran kredit kepada perusahan sendiri. Hutang luar negeri yang saat ini mencapai 128 miliar dolar AS yang menyebabkan beban berkepanjangan dalam APBN dan defisit fiskal hanya dilihat sebagai akibat ketidakmampuan sumber-sumber domestik dan tidak dilihat sebagai akibat praktik perilaku korup, dan buruknya pengelolaan keuangan negara. Penguasaan industri oleh segelintir pengusaha dan struktur industri manufaktur yang oligopolistik dipandang sebagai fenomena ekonomi dan hasil dari suatu mekanisme pasar dan bukan dilihat karena struktur sosial dan kelembagaan yang tidak adil. Korupsi dan sogokan dianggap sebagai suatu kewajaran karena diakui sebagai biaya wajar yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan dalam konteks hubungan prinsipal-agen (Dowling dan Valenzuela, 2004: 330; Ari Kuncoro, 2004).
Kita memang telah mampu melompat dari bangsa yang berpenghasilan rendah ke bangsa berpenghasilan menengah. Antara tahun 1970 hingga awal tahun 1990-an, kita mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata cukup tinggi, yakni 7,21 persen. GDP perkapita meningkat dari 81,34 dolar AS pada tahun 1970 menjadi 1.262,56 dolar AS pada tahun 1997 (sebelum krisis ekonomi akhir tahun 1997 mulai terasa). Tingkat inflasi juga bisa dijaga pada tingkat selalu di bawah dua digit. Akan tetapi, pada periode yang sama hutang luar negeri meningkat, dari 47,98 juta dolar AS pada 1973/1974 menjadi 136,09 miliar dolar AS pada tahun 1997. Struktur industri dalam kurun waktu tersebut cenderung mengarah pada struktur yang oligoplistik bahkan duopolistik. Rasio konsentrasi (Consentration Ratio: CR) untuk industri menengah dan besar masih sangat tinggi. Hingga tahun 2000, rata-rata CR 4 adalah 94 persen dan bahkan CR 2 masih sebesar 86,88 persen. Tingkat kemiskinan meskipun sudah menurun masih cukup tinggi, dari 40,1 persen atau sebanyak 54,2 juta orang pada tahun 1976 menjadi 11,3 persen atau 22,5 juta orang pada tahun 1996. Tingkat pengangguran justru semakin meningkat. Jika pada tahun 1980-an rata-rata tingkat pengangguran berkisar 2,5 persen, pada akhir 1990-an berkisar pada angka 5 persen.
Memasuki milenium kedua, perubahan-perubahan besar memang telah terjadi. Gerakan reformasi menjelang akhir abad ke-20 yang harus kita pandang sebagai momen kritis atau titik balik perubahan (turning point of change) telah mampu membawa iklim perubahan baik dalam politik maupun ekonomi menjadi lebih demokratis. Meskipun demikian, persoalan-persoalan dasar ekonomi kita masih tetap belum banyak berubah. Di akhir tahun 2006, menurut hasil Sensus Ekonomi 2006 (SE-06) jumlah orang miskin di Indonesia masih 39,05 juta orang atau sekitar 17,75 persen (Maret 2006). Jumlah tersebut akan membengkak lagi kalau kita masukkan juga kelompok hampir miskin yang mencapai 13,02 persen dan kelompok hampir tidak miskin sebesar 27,84 persen. Jadi, lebih dari 58,61 persen penduduk Indonesia adalah penduduk miskin dan rentan untuk menjadi miskin. Masalah besar lain yang masih kita hadapi saat ini adalah tingkat pengangguran yang tinggi. Badan Pusat Statistik (2006) mencatat tingkat pengangguran saat ini mencapai sekitar 10,28 persen atau sekitar 10,93 juta orang adalah menganggur terbuka (bekerja paling sedikit selama 1 jam dalam seminggu yang lalu). Tentunya persoalan ketenagakerjaan ini semakin berat apabila kita juga memperhitungkan orang yang setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu) yang jumlahnya sekitar 37,98 persen atau sekitar 42,12 juta orang.
Fondasi ekonomi sebagai prasyarat untuk tumbuh dalam jangka panjang masih belum kuat. Indikatornya jelas, daya saing Indonesia relatif masih sangat rendah. Dalam urutan daya saing menurut IMD Competitiveness Year Book 2006, posisi Indonesia masih berada pada urutan ke-60 dari 61 negara yang dicatat oleh lembaga tersebut. Lemahnya daya saing ini berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi (S.J Wei, 1999). Wei dalam studinya di Asia menunjukkan bahwa korupsi akan cenderung menurunkan investasi, meningkatkan kemiskinan, menurunkan penerimaan pajak, menurunkan pertumbuhan dan mengurangi investasi luar negeri. Di Asia, korupsi berkorelasi negatif dengan tingkat pendapatan dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan menganggap bahwa studi Wei benar, maka hambatan terhadap upaya meningkatkan pertumbuhan dan menurunkan kemiskinan di Indonesia sangat berat. Kualitas birokrasi yang buruk dan rendahnya komitmen untuk menaati azas-azas good governance masih menjadi hambatan untuk menyelesaikan persoalan dasar tersebut. Menurut survei Tranparency International (TI), tingkat korupsi di Indonesia sangat tinggi. Pada tahun 2006, posisi Indonesia ada pada urutan ke-130 dari 163 negara yang disurvei TI, dengan skor 2,4 dari skor tertinggi 10. Skor 10 adalah skor yang menunjukkan negara yang relatif paling bersih dari korupsi (http://www.transparency.org).
Keempat agenda yang sudah dibahas di atas, yakni; penghapusan kemiskinan, penurunan tingkat pengangguran, peningkatan daya saing perekonomain dan pemberantasan korupsi harus menjadi platform bersama dalam memperjuangkan bangsa Indonesia dari ketertinggalan. Empat agenda tersebut merupakan akibat kebijakan ekonomi yang tidak adil. Untuk itu, perlu dilakukan revisi atas roadmap strategi pembangunan ekonomi yang telah kita pilih selama ini.
Strategi pertumbuhan yang kita pilih dalam tiga dekade terakhir abad ke-20 telah banyak memberi pelajaran akan perlunya perubahan orientasi. Pemikiran akan perlunya perubahan strategi ini sesungguhnya sudah mulai muncul pada tahun 1970-an ketika strategi pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan oleh banyak negara berkembang justru menciptakan ketidakadilan dan ketidakmerataan. Oleh karena itu, mereka menyerukan perlunya perubahan yang fundamental secara politik dan institusional sebagai syarat untuk menciptakan pemerataan (Irma Adelman dan Morris, 1973 dalam Bintoro, 1980). Kemiskinan maupun ketidakmerataan merupakan bentuk-bentuk ketidakadilan yang secara struktural eksis.
Strategi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini sudah seharusnya bergeser, dimulai dengan orientasi terhadap peningkatan keadilan dan pemerataan dengan menempatkan penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja sebagai tujuan utama pembangunan. Pergeseran orientasi strategi pembangunan ini yang oleh Meier (2001) disebut sebagai pergeseran teori pembangunan generasi pertama dan generasi kedua menuju generasi baru teori ekonomi pembangunan. Pangkal tolak pemikiran paradigma ini adalah bahwa kegagalan penyelesaian masalah-masalah fundamental di negara-negara berkembang bukan hanya disebabkan oleh kegagalan pasar, bukan pula karena kegagalan faktor kebijakan, tetapi juga karena kegagalan institutional (institutional failures). Premis pendekatan ini adalah faktor kelembagaan akan menentukan keberhasilan dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan (institution matters). Penekanan faktor kelembagaan ini adalah pada proses perubahan yang merupakan fungsi dari struktur kelembagaan dalam masyarakat (North, 2006). Kelembagaan menurut Douglass North adalah aturan main (rule of the game) yang berlaku di masyarakat, baik formal seperti undang-undang, hukum dan peraturan, maupun nonformal seperti norma-norma yang berlaku, kebiasaan dan adat-istiadat. Perubahan pola distribusi juga termasuk di dalam perubahan kelembagaan. Penekanan atas arti penting faktor kelembagaan ini menunjukkan bahwa untuk memecahkan masalah fundamental tersebut selain diperlukan faktor modal, sumber daya manusia, pengetahunan dan teknologi, juga faktor modal sosial, baik modal sosial kewargaan (civil social capital) seperti saling mempercayai (trust), saling menghargai (tepo-seliro: jw), kerjasama, musyawarah maupun modal sosial pemerintah (government social capital) seperti peraturan, hak kepemilikan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Penempatan kedua tujuan tersebut; penghapusan kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran, sebagai titik tolak perencanaan strategi mempunyai implikasi bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai syarat utama. Pertumbuhan yang dimaksud dalam hal ini adalah pertumbuhan ekonomi yang tersebar atau berbasis luas (broad-based economic growth). Karena jumlah orang miskin paling banyak di daerah pedesaan dan di sektor pertanian serta tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi diantara berbagai kelompok pendapatan dan pekerjaan di pedesaan (BPS: SNSE, 2003), broad-based economic growth ini dimaksudkan untuk mengakselarasi penurunan tingkat kemiskinan dan sekaligus dapat menurunkan tingkat ketimpangan diantara berbagai kelompok dan daerah (Porametee Vimolsiri, 1999: 308). Strategi broad-based economic growth juga harus menyentuh bidang usaha mikro dan kecil (UMK), karena bagian terbesar dari masyarakat miskin berada pada usaha-usaha UMK. Implikasinya, kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan UMK harus dilakukan sebagai bentuk pemihakan terhadap keadilan.
Pertumbuhan ekonomi yang berbasis luas barulah merupakan keharusan pertama (necessary conditions) karena masih diperlukan syarat kecukupan (sufficient conditions), yakni; demokrasi dan aturan main (rule of law) yang mampu menciptakan keadilan (justice). Pertumbuhan ekonomi yang sustain, hanya akan terjadi kalau ia tercipta dalam suatu masyarakat dan pemerintahan yang demokratis (Boediono, 2007). Banyak studi empiris menunjukkan bahwa demokrasi merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kualitas birokrasi secara substansial berkorelasi kuat dengan demokrasi (Alesina, 1997; Rivera-Batiz, 1999). Memang, masih sering terjadi beda pendapat mengenai kausalitas antara demokrasi dengan pertumbuhan tersebut, tetapi tidak bisa ditolak bahwa demokrasi akan mendorong perbaikan kualitas birokrasi. Demokrasi akan mendorong meningkatnya keterbukaan, keterbukaan akan mendorong kompetisi dan kebebasan arus informasi dan meningkatnya kebebasan berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan masyarakat (Tim Kane, Kim R Holmes, Mary A. O’Grady, 2007).
Selain demokrasi, rule of law menjadi syarat kecukupan lain untuk tumbuhnya ekonomi yang sustain dan berbasis luas. Studi empris yang dilakukan Barro (1996) menunjukkan bahwa rule of law merupakan determinan penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan rule of law yang semakin baik, akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya kemudian adalah, mana yang harus lebih dulu, demokrasi atau pelaksanaan rule of law yang lebih baik?
Dalam pandangan saya, tidak harus ada ambiguitas, keduanya harus berjalan secara simultan karena, baik proses demokrasi maupun pelaksanaan rule of law berkaitan dengan transformasi kelembagaan. Kelembagaan dalam hal ini kita artikan sebagai rule of the game (North, 2006). Jadi, kelembagaan berkaitan dengan construct of the human mind. Kelembagaan ini meliputi aturan formal seperti hukum dan peraturan perundang-undangan, maupun informal seperti tradisi maupun kebiasaan (Rao, 2003). Apresiasi terhadap aspek kelembagaan ini akan menentukan kinerja perekonomian karena kelembagaan mempunyai fungsi untuk mengurangi ketidakpastian dan pada saat yang sama akan mendorong terciptanya good governance dalam birokrasi.
Kalaupun kita harus memilih mana yang lebih dulu antara demokrasi dan pelaksanaan rule of law, saya akan menempatkan demokrasi sebagai yang lebih dulu. Sebagai ilustrasi saya berikan contoh berkaitan dengan persetujuan UU Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang baru disahkan tahun 1999. Walaupun proses pembahasan mengenai RUU tersebut hanya berlangsung kurang dari satu tahun, tetapi proses politik dan rencana usulan akan perlunya UU Anti Monopoli tersebut sudah dimulai sejak pertengahan kedua tahun 1980-an. Rencana usulan UU Anti Monopoli ini selalu gagal karena kekuatan politik terbesar saat itu masih cenderung menolak rencana tersebut dan baru setelah reformasi politik bergulir tahun 1997, usulan tersebut mulai mendapat persetujuan dari partai-partai politik, yang akhirnya disetujui menjadi undang-undang.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan: untuk mencapai tujuan pembangunan yang sustain yang mampu memecahkan masalah kemiskinan melalui strategi broad-based economic growth, diperlukan bukan hanya kebijakan yang benar, melainkan juga rule of law dan rule of the game yang benar. Peran pasar dan pemerintah harus saling melengkapi karena diantara keduanya ada saling ketergantungan. Reformasi ekonomi, politik dan sosial yang berlangsung pada akhir masa orde baru merupakan modal sosial yang sangat berharga untuk menjamin sustainabilitas pembangunan ekonomi dengan basis strategi broad-based economic growth. Untuk menjaga dan menjamin agar strategi tersebut berada pada jalur yang benar (on the right track), proses dan transisi demokrasi yang saat ini masih berlangsung harus tetap dapat dipertahankan sehingga kita dapat dengan sukses sampai pada suatu masyarakat demokratis yang substansial.
Sebagaimana juga sudah diingatkan oleh Stiglitz (2002), fenomena ekonomi adalah fenomena sosial dan karena itu haruslah dipandang dalam kesatuannya sebagai sebuah sistem sosial dan bukan mekanistis. Sebuah perekonomian bukanlah sebuah mesin besar dengan elemen-elemennya yang bisu. Ia adalah sebuah sistem dengan nilai-nilai yang hidup dalam atmosfer budaya, sosiologi, politik dan kelembagaan yang saling berinteraksi. Oleh karena itu pula, ilmu ekonomi tidak akan bisa bekerja sendiri dalam memecahkan berbagai masalah sosial tersebut. Para ekonom, walaupun tetap bekerja dengan menggunakan model yang rumit dan canggih, tetaplah harus berpijak pada nilai-nilai etika dan keadilan sebagaimana diingatkan Adam Smith dan pemikir ekonomi abad pertengahan.
Kalau tadi saya katakan bahwa penggunaan matematika, statistika, input-output, ekonometrika dan berbagai teknik analisis lain dalam ilmu ekonomi harus tetap selalu berpijak pada nilai-nilai etika, bukan berarti saya menolak teknik-teknik analisis tadi. Saya juga tidak ingin menimbulkan kesan bahwa teknik tersebut tidak diperlukan sebab dalam analisis ekonomi ketrampilan teknis sangat penting. Bahkan dengan penggunaan teknik analisis tersebut, ilmu ekonomi telah mendapatkan mahkota penghargaan dan pengakuannya yang sangat tinggi melalui para peraih hadiah Nobel. Akan tetapi, masalah-masalah pembangunan saat ini justru semakin kompleks dan menuntut penyelesaian yang mendasarkan pada riset-riset dengan pendekatan multidisiplin atau bahkan transdisiplin. Para sarjana ekonomi saat ini justru dituntut untuk semakin membuka diri terhadap disiplin lain. Untuk dapat mengenal persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan dengan lebih baik, para sarjana ekonomi sudah seharusnya bersedia belajar tentang studi kelembagaan dan sejarah. Walaupun saya menyadari betul bahwa tidak semua variabel bisa dikuantifikasi, kepada mereka yang secara intensif mendalami teknik-teknik analisis kuantitatif, saya berharap anda semua mau bekerja keras agar model-model kuantitatif yang dibangun mampu merefleksikan hubungan antar variabel yang lebih realistik dan mencerminkan kondisi yang sebenarnya dengan sedapat mungkin mengadaptasi aspek sosial kelembagaan, bukan justru mempersempit dengan memasukkan asumsi-asumsi yang malah semakin jauh dari kenyataan.
Karena itu, benarlah apa yang dikatakan Keynes bahwa sarjana ekonomi yang baik haruslah seorang matematikawan, statistikawan, ahli sosiologi, psikologi dan sejarah. Bahkan menurut saya, seorang ekonom seharusnya adalah budayawan dan filsuf sekaligus. Jelaslah, hanya seorang jenius yang mampu memenuhi semua persyaratan tersebut. Akan tetapi, marilah kita menyadari legitimasi ilmu ekonomi hanya akan datang apabila ilmu ekonomi mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Jangan sampai ilmu ekonomi hidup kesepian dan kehilangan relevansi di tengah-tengah pergulatan masalah di sekitarnya. Tuntutan ini tentu mempunyai implikasi yang luas terhadap pengajaran dan pendidikan ilmu ekonomi ke depan.
Bertitik tolak dari situasi tersebut, secara jujur saya katakan kekhawatiran saya melihat kecenderungan saat ini. Di saat kita memerlukan pendekatan multidisiplin, bahkan transdisiplin dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan yang terpicu oleh semakin berkurangnya kohesivitas sosial, di sisi lain kecenderungan sterilisasi dan pengkotak-kotakan dalam pendidikan dan pengajaran ilmu sosial masih sangat kuat. Memang, kita para sarjana ekonomi tidak harus menjadi generalis, tetapi akan sungguh naif apabila para calon sarjana ekonomi dianggap tidak perlu mengetahui ilmu budaya, ilmu alam, ilmu sosiologi dan ilmu politik pada tingkat yang paling dasar sekalipun, sehingga cabang-cabang ilmu tersebut tidak perlu diajarkan dan dipelajari oleh para calon sarjana, khususnya sarjana ekonomi. Indikasi ini tampak pada hilangnya mata kuliah-mata kuliah ilmu alamiah dasar dan ilmu budaya dasar dari kurikulum wajib pada beberapa tahun ajaran belakangan ini. Bagaimana mungkin sarjana ekonomi yang adalah sarjana ilmu sosial mampu memecahkan masalah sosial tanpa memahami akar masalah yang dihadapinya secara cukup? Agar ilmu ekonomi menjadi lebih relevan, ilmu ekonomi harus mampu menjalin interrelasi dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Memang kita harus meningkatkan kompetensi para calon sarjana ekonomi, tetapi upaya peningkatan kompetensi tersebut tidak harus berarti mencabut para calon sarjana ekonomi dari akar sosialnya.
Pandangan saya, masalah-masalah sosial dalam suatu masyarakat hanya dapat dipecahkan dengan memahami masalah tersebut dalam konteks sosiologisnya. Saatnya sekarang kita untuk kembali ke jati diri ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial. Pandangan bahwa ilmu adalah bebas nilai, tidak selalu melahirkan kebijakan yang benar. Spirit pemikiran ekonomi abad pertengahan memberikan message ilmu ekonomi haruslah tidak sekuler. Ilmu ekonomi harus berlandaskan pada nilai-nilai etika dan moral yang merupakan internalisasi nilai dan spirit religiositas. Alangkah miskinnya kita, apabila kita yang telah memilih ekonomi sebagai profesi, kehilangan sejarah kita sendiri (lost of historical) dan menjadi ekonom yang tidak punya kepekaan sejarah (lost of historical sense).

Pesan dan Ucapan Terimakasih
Kepada para mahasiswa atau siapa saja sebagai pembelajar ilmu ekonomi, saya berharap anda selalu terbuka dan peka terhadap segala macam aspek persoalan masyarakat kita dan jangan pernah kehilangan kreatifitas hanya karena takut berbuat salah. Milikilah keberanian untuk menggunakan akalmu sendiri, begitu kata Emanuel Kant. Andai itu tidak terjadi, saya khawatir proses pendidikan ini menjadi proses yang sia-sia karena hakikat pendidikan adalah transformasi, dan transformasi tidak akan pernah terjadi kalau pendidikan itu hanya menghasilkan “robot-robot” dan tidak memerdekakan manusia.
Akhirnya, saya harus mengemukakan keprihatinan saya yang lain yang boleh kita anggap sebagai pesan untuk kita bersama. Tampaknya perilaku pragmatis dan hedonis-pun telah mulai masuk ke dunia perguruan tinggi yang seharusnya menjadi salah satu penjaga moral dan kejujuran. Sebagai guru, saya harus mengatakan hal ini walau mungkin terasa menyakitkan. Kebiasaan untuk mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri sudah mulai banyak kita temukan, entah itu berupa skripsi, tesis atau karya ilmiah lainnya yang mestinya merupakan produk intelektual yang berbobot nilai-nilai kejujuran. Bisa jadi hal ini merupakan cerminan wajah masyarakat kita yang ingin serba cepat, yang lebih mementingkan hasil dan tidak memedulikan proses, sehingga mulai tidak memedulikan lagi nilai-nilai etika dan moralitas. Saya tidak mempunyai resep lain kecuali kita harus lebih peduli untuk selalu menginternalisasikan nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan pembelajaran sekaligus merenungkan kembali ajaran leluhur kita yang tertuang dalam ”Serat Wedhatama” melalui bait tembang PUCUNG berikut: Ngelmu iku kelakone kanthi laku, Lekase lawan kas, Tegese kas nyantosani, setya budya pangekesing dur angkara (yang artinya kira-kira adalah: ilmu pengetahuan harus dicari dengan kerja keras, mulai dengan kesetiaan, tugas ilmu yang utama adalah untuk membasmi angkara murka). Begitulah memang ciri ilmuwan; setidaknya menurut saya, setia pada cita-cita.
Sebelum mengakhiri pidato, perkenankan saya mengungkapkan syukur dan terimakasih saya kepada orang-orang baik yang telah ikut mewarnai perjalanan hidup saya hingga saat ini. Walaupun pencapaian jabatan akademik sebagai Guru Besar adalah suatu tahapan wajar bagi setiap orang yang secara sadar telah memilih menjadi dosen sebagai profesinya, namun saya sangat yakin pencapaian tersebut juga karena peran banyak pihak. Untuk itu secara tulus saya sampaikan terimakasih kepada Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro dan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro dan tentunya juga guru-guru saya sejak saya mulai mengenal sekolah hingga saat ini, sebab tanpa mereka saya tidak akan pernah menjadi Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di universitas tercinta ini.

Terimakasih, semoga rahmat dan kasih Tuhan selalu menyertai kita.

Selasa, September 16, 2008

Masalah Jateng

WACANA22 Agustus 2008'Kulakan' Masalah di Jawa Tengah
Oleh FX Sugiyanto
”BALI Ndesa, Mbangun Desa” menjadi slogan gubernur - wakil gubernur Jateng terpilih: Bibit Waluyo-Rustriningsih. Slogan tersebut setidaknya mengandung dua makna penting. Pertama, berkaitan dengan realitas simbolik, yakni ada niat atau spirit untuk memperbaiki (mbangun) yang selama ini tidak dipikirkan atau ditinggalkan. Kedua, berkaitan dengan realitas empiris, yakni fakta bahwa sebagian besar persoalan utama yang harus diselesaikan berada di desa. Dengan menggunakan dua pendekatan relaitas itu, slogan Bali Ndesa Mbangun Desa menjadi lebih membumi untuk Jawa Tengah, karena persoalan utama di Jateng bermuara pada indikator yang kita kenal sebagai tingkat kemiskinan dan pengangguran.Penduduk miskin di provinsi ini sekitar 6,8 juta jiwa, atau 21,11 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penganggur sekitar 1,19 juta jiwa atau 7,3 persen. Sebagaian besar dari mereka ini tinggal di wilayah pedesaan. Slogan tersebut juga mudah diingat oleh publik. Karena itu, publik pun akan dengan lebih mudah untuk menagih janji. Gubernur terpilih juga mengatakan, setelah dilantik akan segera berkeliling Jateng untuk ”kulakan masalah”. Tulisan ini dimaksudkan untuk kembali menyiapkan bahan kulakan dimaksud. Program 100 HariSecara pribadi, saya tidak tahu persis bagaimana asal-usul adanya kebiasaan yang sering kita kenal sebagai ”program 100 hari”. Namun, menurut hemat saya, program paling konkret dalam masa 100 hari pertama pemerintahan Bibit-Rustri adalah tersusunnya program dan kegiatan yang akan dilakukan gubernur dalam lima tahun ke depan, yang salah satu sumber utamanya adalah dari kulakan ke desa-desa di Jateng. Hal ini pun secara normatif sudah diatur, bahwa dalam tiga bulan setelah dilantik, gubernur terpilih harus menyampaikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam hal ini, gubernur terpilih memang tidak harus mulai dari nol. Selain sudah ada RPJPD 2005-2025, sebagian dari rencana tersebut juga sudah dipaparkan ketika masa kampanye berlangsung. Dan kita semua telah mengikuti paparan-paparan tersebut. Pokok-pokok masalah tersebut akan disampaikan melalui tulisan ini.Pada tingkat kebijakan makro, selain masalah kemiskinan dan pengangguran antarberbagai kelompok masyarakat yang berkaitan dengan masalah distribusi fungsional, Jawa Tengah juga dihadapkan pada masalah kesenjangan spasial. Kesenjangan antarkabupaten masih sangat menyolok. Sebagai ilustrasi, pendapatan perkapita Kabupaten Kudus rata-rata mencapai Rp 14,2 juta dan tertinggi di Jateng. Sementara Kabupaten Grobongan yang berbatasan dengan Kudus hanya memiliki pendapatan perkapita Rp 2,03 juta dan terendah di Jateng. Jumlah pengangguran paling banyak di Kabupaten Brebes, yakni 101 ribu orang (11,53 %) yang kebetulan juga merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak di Jateng. Sementara jumlah pengangguran terendah adalah kabupaten Magelang, 5.700 orang (9,16 %). Dari indikator pembangunan ekonomi dan sosial, yang terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang terendah adalah Kabupaten Brebes (64,3) dan tertinggi Surakarta (76,0). Dari sisi spasial ini, gubernur terpilih dituntut untuk memberi perhatian lebih serius untuk daerah pantura barat, yang mana kebanyakan kabupaten di kawasan ini memiliki IPM rendah.Perlunya gubernur terpilih memerhatikan daerah pantura barat ini diperkuat pula oleh dua indikator penting lainnya. Pendapatan perkapita mempunyai korelasi positif yang kuat (0,56) terhadap IPM. Ini berarti peningkatan pendapatan perkapita akan mendorong peningkatan IPM. Sementara pendapatan perkapita mempunyai korelasi negatif yang kuat (-0,64) terhadap tingkat kemiskinan, yang berarti bahwa peningkatan pendapatan perkapita akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan.Yang menarik dari analisis spasial ini adalah tidak kuatnya korelasi, bahkan boleh dikatakan tidak ada korelasinya, antara pendapatan perkapita dan jumlah pengangguran (-0,006) maupun antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran (-0,005). Hal ini memberi gambaran bahwa pendapatan yang tinggi tidak mempunyai dampak yang berarti terhadap pengurangan jumlah penganggur. Demikian pula pertumbuhan yang tinggi tak mempunyai dampak berarti terhadap pengurangan tingkat pengangguran. Sungguh, gambaran ini menyiratkan sinyal yang mengkhawatirkan. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang meningkat sekalipun tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang secara signifikan dalam mengurangi pengangguran. Sangat mungkin hal ini terjadi karena investasi yang ada selama ini tidak mampu menyediakan lapangan kerja baru. Bisa jadi, investasi yang ada hanya merupakan pengganti investasi yang sudah aus dan tak ada ekspansi investasi. Atau investasi yang ada lebih banyak berupa investasi modal kerja, atau investasi yang cenderung tidak akrab dengan penyediaan lapangan kerja baru. Apabila hal ini dikaitkan dengan penurunan kemiskinan yang berkorelasi dengan kenaikan pendapatan tersebut, dapat disimpulkan penurunan kemiskinan itu lebih bersifat instan dan sementara; bukan karena adanya lapangan kerja dan bersifat sustain. Hal ini pun wajar, karena kebijakan pengurangan kemiskinan yang dilakukan juga bersifat instan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ini sangat berbahaya, karena sangat mungkin kemiskinan akan mudah meningkat dengan cepat, jika ada kebijakan-kebijakan mendadak seperti kenaikan harga-harga komditi pokok.Melihat gambaran itu semua, jelas saat ini diperlukan strategi dan kebijakan ekonomi yang radikal, selain berdimensi spasial, juga sektoral dengan karakter kuat akrab terhadap penyerapan tenaga kerja.Kebijakan Mikro SektoralAnalisis spasial-sektoral terhadap masalah kemiskinan dan pengangguran di Jawa Tengah menghasilkan kesimpulan yang secara sederhana bermuara pada perlunya fokus kebijakan pengembangan pada usaha mikro dan kecil (UMK), pengembangan sektor pertanian, dan wilayah pedesaan. Konsekuensi dari semua itu adalah perlu adanya pengerahan energi besar, baik komitmen, kebijakan, serta fasilitasi terhadap sektor-sektor UMK dan pertanian yang kebanyakan berada di daerah pedesaan. Bukan hanya itu, infrastruktur pun seharusnya juga diarahkan untuk usaha besar tersebut.Kebijakan-kebijakan berkaitan pengembangan UMK secara umum akan berkait dengan lemahnya aksesabilitas ke pasar komoditi dan aksesabilitas ke lembaga keuangan untuk permodalan. Saat ini kita sudah mempunyai UU tentang UMKM. Kiranya ini momentum yang tepat untuk berkomitmen kepada pemberdayaan UMK tersebut.Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pertanian memang lebih rumit, tetapi indikator paling nyata berkaitan dengan pembangunan pertanian adalah lemahnya Nilai Tukar Petani (NTP). Artinya, kebijakan pertanian mencakup sistem pengelolalan pertanian, dari sistem distribusi input hingga distribusi komoditi dan pemetaan komoditi yang berbasis pasar.Pembangunan infrastruktur di pedesaan dan pertanian, baik berkaitan dengan sistem produksi maupun sistem distribusi, merupakan konsekuensi lain yang mesti dilakukan untuk membuktikan komitmen terhadap pengembangan UMKM dan sektor pertanian. Pengembangan infrastruktur ini diharapkan akan mendorong terjalinnya jejaring antarsumber ekonomi antardesa.Akhirnya saya mau menyampaikan, sangat tidak mudah untuk membahas masalah yang begitu penting dalam ruang yang begitu terbatas ini. Karena itu saya hanya ingin sampaikan bahwa slogan Bali Ndesa Mbangun Desa adalah slogan dan semangat yang tepat dan mempunyai makna kekinian dan kedisinian. Tetapi, slogan tersebut masih memerlukan penerjemahan dan implementasi yang lebih menyeluruh dan mendalam sekaligus, sehingga akan berdampak nyata bagi masyarakat Jateng. Selain itu, juga memerlukan energi besar dan terfokus untuk melaksanakannya. Selamat Berjuang Pak Gubernur. (32)—Prof Dr FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip.