Sabtu, November 29, 2008

Suara Merdeka 11 November 2008
WACANA

Single Global Currency
Oleh FX Sugiyanto

DI balik terjadinya krisis, tidak jarang mendorong munculnya kreativitas. Menanggapi krisis keuangan global kali ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sivitas akademika IPB melontarkan gagasan perlunya single global currency (SGC). SBY juga melontarkan gagasan perlunya meninjau kembali peran lembaga dunia seperti IMF, WTO dan Bank Dunia, serta posisi Indonesia dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga tersebut. Ini bukan sembarang lontaran, karena SBY menyampaikannya dalam orasi ilmiah di perguruan tinggi negeri itu, sekaligus ini ‘’tantangan’’ kepada orang-orang kampus. Wacana yang dilontarkan SBY sesungguhnya bukan hal baru. Pertanyaan mendasarnya, apakah wacana tersebut merupakan solusi yang tepat, setidaknya untuk saat ini. Dan, apakah wacana itu cukup realistis?
Pemberontakan StiglitzSejak awal Joseph E Stiglitz —pemenang Nobel Ekonomi 2001 dan mantan penasihat ekonomi Presiden Bill Clinton— sudah mengkritik pedas keberadaan IMF. Bahkan ia mengatakan, IMF sudah saatnya ‘’tutup buku’’. Globalisasi, menurut Stiglitz, hanya akan melahirkan kontroversi. Globalisasi akan memunculkan liberalisasi dan integrasi pasar keuangan, serta hanya akan melahirkan aliran modal panas yang spekulatif dan instabilitas. Menurutnya, IMF gagal menunjukkan bukti bahwa liberalisasi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang. Bahkan, secara agak sarkastis, Stiglitz menuduh kebijakan IMF dilahirkan bukan berdasarkan suatu teori dan bukti empiris, tetapi dari suatu kepentingan pasar dan ideologi yang berimpit dengan kepentingan tersebut (Stiglitz; Oxford Review of Economic Policy, Vol 20 no 1, 2004). Pemberontakan Kepala Ekonom Bank Dunia terhadap IMF itu sebenarnya merupakan puncak kekecewaan negara-negara berkembang yang kecewa atas peran lembaga keuangan tersebut. Tentu dampaknya berbeda ketika kekecewaan tersebut disampaikan Stiglitz yang peraih hadial Nobel Ekonomi. Senada dengan Stiglitz, Paul R Krugman —peraih Nobel Ekonomi 2008— telah lama menandai bahwa liberalisasi ekonomi hanya akan memunculkan kapitalisasi di negara-negara industri, sementara negara berkembang hanyalah periferi. Dengan kata lain, liberalisasi akan menciptakan kesenjangan yang makin jauh antara negara maju dan negara berkembang. Jadi, kalau SBY melontarkan wacana perlunya meninjau kembali peran IMF terhadap perekonomian Indonesia, hal ini lebih merupakan bentuk aksentuasi yang telah dilakukan Stiglitz dan Krugman. Apapun yang dilakukan SBY merupakan sebuah langkah berani, meski belum mampu ‘’melawan’’ peran IMF. Setidaknya, hal ini bisa menjadi pemicu untuk mendorong tata ekonomi dunia yang lebih adil.
Bukan Hal BaruSBY memang belum merinci wacana SGC yang dilontarkannya. Tetapi ia memberi latar belakang, kalau SGC diberlakukan, maka stabilitas ekonomi akan terjadi karena tidak akan ada lagi ada penguangan dengan uang, dan fungsi uang berubah dari sebagai alat tukar. Presiden tidak memaparkan apa yang dia maksud dengan SGC. Seandainya yang dimaksud adalah regional currency unit seperti euro saat ini, tentu ini bukan hal baru, dan juga realitis untuk diterapkan, walau belum tentu realistis untuk Indonesia. Mantan presiden Habibie pun pernah mengusulkan perlunya asian currency unit, meski tidak mendapat banyak tanggapan antusias. Apabila yang dimaksud SBY adalah one single global currency (satu mata uang yang berlaku secara global), maka pertanyaannya apakah gagasan tersebut realistis? Dari sisi ide dan teori, gagasan ini bisa dipahami. Sebab dunia telah pula melakukannya, yakni ketika sistem moneter dunia menganut Sistem Standar Emas, yang mengalami kejatuhannya menjelang depresi besar tahun 1930-an. Sistem itu dapat diterapkan, ketika uang masih berperan sebagai alat tukar dan hanya digunakan untuk tujuan bertransaksi. Tetapi ketika uang juga berfungsi sebagai aset, bahkan digunakan untuk tujuan spekulasi, Sistem Standar Emas sebagai satu-satunya mata uang yang diterima sebagai alat tukar internasional sudah tidak layak lagi. Tentu hal ini karena produksi dan pasokan emas yang terbatas. Setelah Perang Dunia II, sistem yang mirip dengan SGC juga diterapkan, yaitu Sistem Bretton Woods, yang mana dolar AS sebagai satu-satunya mata uang kuat dunia yang diterima sebagai alat tukar dunia. Dengan sistem ini, AS justru merasa terpenjara karena menjadi satu-satunya negara yang tidak boleh melakukan depresiasi mata uangnya. Akhirnya sistem itu ambruk juga di tahun 1970-an. Pertanyaannya, mengapa sistem SGC berakhir pada keambrukan? Jawabannya karena aktivitas ekonomi dunia, yang melibatkan hampir semua negara, sudah sangat bervariasi dengan motif yang bervariasi pula, termasuk motif berdagang uang. Variasi tersebut bukan hanya dari aspek aktivitas ekonomi, tetapi juga variasi dalam struktur ekonomi antarnegara dan kawasan.
Bukan Sistem Moneter Kita bisa menyalahkan motif keserakahan sebagai penggerak perdagangan uang dan saham yang membawa dunia pada krisis sekarang ini. Tetapi kita tidak bisa memaksa orang untuk tidak mengejar motif pemuasan diri tersebut. Bahwa SBY dan kita galau karena krisis gloal, dan harus mencari pemecahan yang sustain, itu adalah betul. Tetapi kenyataan variasi struktur ekonomi antarnegara dan kawasan sangat berbeda, maka secara empiris dan realitis tidak memungkinkan untuk penggunaan sistem mata uang tunggal dunia sebagaimana gagasan SBY tersebut. Kalau pun kemungkinan itu ada, maka yang lebih realistis adalah sistem mata uang tunggal regional (regional currency unit). Itu pun masih memerlukan persyaran mendasar, yakni struktur ekonomi negara-negara yang akan terlibat tidak terlalu timpang. Belum lagi dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Kita lihat, bagaimana Inggris belum mau menggabungkan pound ke euro. Kegalauan akibat krisis dan rentannya ekonomi Indonesia saat ini tentu disebabkan banyak faktor. Faktor yang terpenting adalah karena investor tidak termotivasi untuk mendapatkan gain di sektor riil. Karena itu, mereka hanya memutar-mutar uang dalam berbagai macam aset non-riil seperti saham dan mata uang lainnya. Pengaturan-pengaturan yang lebih serius dalam sistem keuangan dan moneter kita perlu dilakukan, misalnya berkaitan dengan transaksi derivatif dan berbagai macam instrumen yang menyebabkan asymmetric information dan pelanggaran di pasar keuangan. Tetapi itu saja belum cukup. Ketika krisis berulang dalam waktu relatif pendek, dengan pemicu sama, berarti masih ada faktor fundamental yang belum banyak berubah. Faktor fundamental itu adalah belum adanya kesungguhan pemerintah untuk membenahi sektor riil. Kini, sudah saatnya kita menunggu bukti, bukan lagi janji-janji. (32)–– Prof FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip.
Single Global Currency
Oleh FX SugiyantoDI balik terjadinya krisis, tidak jarang mendorong munculnya kreativitas. Menanggapi krisis keuangan global kali ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sivitas akademika IPB melontarkan gagasan perlunya single global currency (SGC). SBY juga melontarkan gagasan perlunya meninjau kembali peran lembaga dunia seperti IMF, WTO dan Bank Dunia, serta posisi Indonesia dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga tersebut. Ini bukan sembarang lontaran, karena SBY menyampaikannya dalam orasi ilmiah di perguruan tinggi negeri itu, sekaligus ini ‘’tantangan’’ kepada orang-orang kampus. Wacana yang dilontarkan SBY sesungguhnya bukan hal baru. Pertanyaan mendasarnya, apakah wacana tersebut merupakan solusi yang tepat, setidaknya untuk saat ini. Dan, apakah wacana itu cukup realistis?
Pemberontakan StiglitzSejak awal Joseph E Stiglitz —pemenang Nobel Ekonomi 2001 dan mantan penasihat ekonomi Presiden Bill Clinton— sudah mengkritik pedas keberadaan IMF. Bahkan ia mengatakan, IMF sudah saatnya ‘’tutup buku’’. Globalisasi, menurut Stiglitz, hanya akan melahirkan kontroversi. Globalisasi akan memunculkan liberalisasi dan integrasi pasar keuangan, serta hanya akan melahirkan aliran modal panas yang spekulatif dan instabilitas. Menurutnya, IMF gagal menunjukkan bukti bahwa liberalisasi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang. Bahkan, secara agak sarkastis, Stiglitz menuduh kebijakan IMF dilahirkan bukan berdasarkan suatu teori dan bukti empiris, tetapi dari suatu kepentingan pasar dan ideologi yang berimpit dengan kepentingan tersebut (Stiglitz; Oxford Review of Economic Policy, Vol 20 no 1, 2004). Pemberontakan Kepala Ekonom Bank Dunia terhadap IMF itu sebenarnya merupakan puncak kekecewaan negara-negara berkembang yang kecewa atas peran lembaga keuangan tersebut. Tentu dampaknya berbeda ketika kekecewaan tersebut disampaikan Stiglitz yang peraih hadial Nobel Ekonomi. Senada dengan Stiglitz, Paul R Krugman —peraih Nobel Ekonomi 2008— telah lama menandai bahwa liberalisasi ekonomi hanya akan memunculkan kapitalisasi di negara-negara industri, sementara negara berkembang hanyalah periferi. Dengan kata lain, liberalisasi akan menciptakan kesenjangan yang makin jauh antara negara maju dan negara berkembang. Jadi, kalau SBY melontarkan wacana perlunya meninjau kembali peran IMF terhadap perekonomian Indonesia, hal ini lebih merupakan bentuk aksentuasi yang telah dilakukan Stiglitz dan Krugman. Apapun yang dilakukan SBY merupakan sebuah langkah berani, meski belum mampu ‘’melawan’’ peran IMF. Setidaknya, hal ini bisa menjadi pemicu untuk mendorong tata ekonomi dunia yang lebih adil.
Bukan Hal BaruSBY memang belum merinci wacana SGC yang dilontarkannya. Tetapi ia memberi latar belakang, kalau SGC diberlakukan, maka stabilitas ekonomi akan terjadi karena tidak akan ada lagi ada penguangan dengan uang, dan fungsi uang berubah dari sebagai alat tukar. Presiden tidak memaparkan apa yang dia maksud dengan SGC. Seandainya yang dimaksud adalah regional currency unit seperti euro saat ini, tentu ini bukan hal baru, dan juga realitis untuk diterapkan, walau belum tentu realistis untuk Indonesia. Mantan presiden Habibie pun pernah mengusulkan perlunya asian currency unit, meski tidak mendapat banyak tanggapan antusias. Apabila yang dimaksud SBY adalah one single global currency (satu mata uang yang berlaku secara global), maka pertanyaannya apakah gagasan tersebut realistis? Dari sisi ide dan teori, gagasan ini bisa dipahami. Sebab dunia telah pula melakukannya, yakni ketika sistem moneter dunia menganut Sistem Standar Emas, yang mengalami kejatuhannya menjelang depresi besar tahun 1930-an. Sistem itu dapat diterapkan, ketika uang masih berperan sebagai alat tukar dan hanya digunakan untuk tujuan bertransaksi. Tetapi ketika uang juga berfungsi sebagai aset, bahkan digunakan untuk tujuan spekulasi, Sistem Standar Emas sebagai satu-satunya mata uang yang diterima sebagai alat tukar internasional sudah tidak layak lagi. Tentu hal ini karena produksi dan pasokan emas yang terbatas. Setelah Perang Dunia II, sistem yang mirip dengan SGC juga diterapkan, yaitu Sistem Bretton Woods, yang mana dolar AS sebagai satu-satunya mata uang kuat dunia yang diterima sebagai alat tukar dunia. Dengan sistem ini, AS justru merasa terpenjara karena menjadi satu-satunya negara yang tidak boleh melakukan depresiasi mata uangnya. Akhirnya sistem itu ambruk juga di tahun 1970-an. Pertanyaannya, mengapa sistem SGC berakhir pada keambrukan? Jawabannya karena aktivitas ekonomi dunia, yang melibatkan hampir semua negara, sudah sangat bervariasi dengan motif yang bervariasi pula, termasuk motif berdagang uang. Variasi tersebut bukan hanya dari aspek aktivitas ekonomi, tetapi juga variasi dalam struktur ekonomi antarnegara dan kawasan.
Bukan Sistem Moneter Kita bisa menyalahkan motif keserakahan sebagai penggerak perdagangan uang dan saham yang membawa dunia pada krisis sekarang ini. Tetapi kita tidak bisa memaksa orang untuk tidak mengejar motif pemuasan diri tersebut. Bahwa SBY dan kita galau karena krisis gloal, dan harus mencari pemecahan yang sustain, itu adalah betul. Tetapi kenyataan variasi struktur ekonomi antarnegara dan kawasan sangat berbeda, maka secara empiris dan realitis tidak memungkinkan untuk penggunaan sistem mata uang tunggal dunia sebagaimana gagasan SBY tersebut. Kalau pun kemungkinan itu ada, maka yang lebih realistis adalah sistem mata uang tunggal regional (regional currency unit). Itu pun masih memerlukan persyaran mendasar, yakni struktur ekonomi negara-negara yang akan terlibat tidak terlalu timpang. Belum lagi dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Kita lihat, bagaimana Inggris belum mau menggabungkan pound ke euro. Kegalauan akibat krisis dan rentannya ekonomi Indonesia saat ini tentu disebabkan banyak faktor. Faktor yang terpenting adalah karena investor tidak termotivasi untuk mendapatkan gain di sektor riil. Karena itu, mereka hanya memutar-mutar uang dalam berbagai macam aset non-riil seperti saham dan mata uang lainnya. Pengaturan-pengaturan yang lebih serius dalam sistem keuangan dan moneter kita perlu dilakukan, misalnya berkaitan dengan transaksi derivatif dan berbagai macam instrumen yang menyebabkan asymmetric information dan pelanggaran di pasar keuangan. Tetapi itu saja belum cukup. Ketika krisis berulang dalam waktu relatif pendek, dengan pemicu sama, berarti masih ada faktor fundamental yang belum banyak berubah. Faktor fundamental itu adalah belum adanya kesungguhan pemerintah untuk membenahi sektor riil. Kini, sudah saatnya kita menunggu bukti, bukan lagi janji-janji. (32)––

Prof FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip.