Minggu, Mei 24, 2009

Platform Presiden

MEMOTRET PLATFORM EKONOMI TIGA CAPRES
Oleh FX Sugiyanto
Jelas sudah siapa calon Capres-Cawapres yang akan bertarung pada pilpres mendatang; Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), Megawati-Prabowo Subianto (Mega-Pro), dan Susilo Bambang Yudoyono – Boediono (SBY-Berboedi). Sungguh tidak mudah melihat kearah mana pembangunan ekonomi Indonesia akan di bawa dalam lima tahun ke depan jika mereka menjadi pemenang. Namun demikian, dengan mengasumsikan bahwa platform mereka merupakan perpaduan antara tema partai mereka waktu kampanye pileg dan latar belakang mereka, mari kita coba memotret plat form mereka, khususnya dalam hal kebijakan ekonomi.
JK-Win
Baik JK maupun Wiranto, adalah orang-orang yang lebih mendekati cara berpikir pragmatis, walau dengan latar belakang berbeda. Dalam pendekatan filsafat, pragmatisme adalah cara berpikir yang menempatkan kebenarnan pendapat diukur dari hasil paktisnya (outcome). Dengan bahasa yang berbeda, pragmatisme sering dimaknai sebagai paham yang lebih menekankan hasil dari pada teori yang melandasi cara berpikir itu. Sebagai mantan saudagar, JK sudah sangat terbiasa cara berpikir target manfaat yang akan diperoleh, walaupun sangat mungkin secara sosial bisa jadi justru rugi. Demikian, Wiranto sebagai mantan jendral yang tentu ahli strategi, akan selalu berpikir capaian hasil dan strategi mencapai hasil itu, walau juga kadang bisa mengabaikan aspek sosial sebagai ongkosnya. Cara berpikir ini yang dalam dalam filsafat dikenal cara berpikir utilitarian. Kelemahan utama cara berpikir ini adalah lebih berorientasi hasil atau manfaat dan cenderung mengabaikan korban.
Dengan demikian JK-Win adalah kombinasi pribadi pragmatis-pragmatis. Dalam perspektif ini, kebijakan-kebijakan yang akan diambil bisa sangat praktis, cepat dan jelas hasilnya, tetapi kelemahnannya adalah akan cenderung kurang memperhatikan tataran aspek makronya yakni ongkos sosial dan dampak yang ditimbulkan dari pengambilan kebijakan itu. Dalam hal menghadapi persoalan ekonomi sekarang ini, pribadi yang pragmatis akan cenderung berpandangan bahwa hanya dengan menghidupkan kegiatan ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi masalah pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi. Dan bisa jadi kurang memperhatikan dari sisi “siapa” yang harus terlibat dan dilibatkan untuk mencapai output tersebut, serta “siapa” pula yang harus terpaksa berkorban. Keyakinan akan mekanisme efek tetesan ke bawah (trickle down effect) masih akan berlaku. Sebagai ilustrasi, misalnya kebijakan konversi minyak tanah dengan gas. Walaupun perhitungan secara finansila nalar (make sense), tetapi kebijakan tersebut kurang memperhatikan bagaimana dampaknya pada masyarakat berstrata pendapatan rendah, yang akhirnya pada level ini menimbulkan kekacauan.
Dalam tataran mekanisme, pasangan JK-Win diperkirakan akan lebih cenderung menganut sistem ekonomi pasar yang lebih bebas; liberal-kapitalistik. Bergabungnya pengusaha nasional Jusuf Wanandi menjadi pendukung pasangan JK-Win, mengindikasikan hal tersebut. Jusuf Wanandi kita kenal sebagai pengusaha dengan keyakinannya akan “bijaksananya” mekanisme pasar.

Mega-Pro
Mega dengan PDI-P-nya boleh kita yakini sebagai “idiolog” partai yang konservatif. “Pertarungannya” dengan TK yang adalah suaminya sendiri dalam menentukan dengan siapa PDI-P seharusnya berkoalisasi, menunjukkan siapa Mega yang sebenarnya. Seorang idiolog cenderung konservatif, karena itu konstituennya cenderung loyal pula. Prabowo adalah seorang mantan jendral. Karena itu bagaimanapun dia adalah seorang pragmatis, apalagi dia sendiri adalah pengusaha. Di belakang Prabowo ada Hasjim Dojohadikusumo yang adalah adiknya dan seorang pengusaha nasional. Namun jangan lupa, keduanya adalah putra Begawan Ekonomi Indonesia Sumitro Djojohadikusumo yang dalam kasanah perkembangan pemikiran ekonomi di Indonesia tergolong beraliran sosialis. Jadi, Megra-Pro merupakan gabungan Idealisme-Pragmatisme dengan warna cenderung sosialistik.
Tema kampanye waktu pileg antara PDI-P dan Gerindra ada banyak kemiripan, dengan penonjolan kuat pemihakan “orang-orang marginal” dan pasar domestik. Tetapi sayang, PDI-P “kesleo” strategi dalam mengritik kebijakan BLT yang tentunya akan dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pasangan SBY-Berboedi. Dalam hal tema ekonomi, menurut saya, Gerindra sangat cerdik melakukan eksploitasi tema dan focus kampanye. Kesan sosialistis-nasionalis memang sangat kuat dalam kampanye partai Gerindra, walau belakangan juga telah sedikit meralat agar tidak kelihatan anti mekanisme pasar. Plat-form kebijakan sosialistik-nasionalis yang dikesankan sebagai pro-kelompok marginal ini akan dipertahankan dalam kampanye pasangan Megra-Pro ini, tetapi pasti dengan sentuhan untuk tidak terkesan anti pasar. Tim Kampanye Mega-Pro pasti akan mengeksploitasi isu-isu pro-rakyat ini, yang oleh pemerintah SBY-JK belum mendapat porsi secara serius.
Di belakang Megra-Pro berdiri pengusaha nasional Hasjim Djohadikusumo dan kemungkinan juga iparnya Sudradjat Djiwandono mantan Gubernur BI dan Menperindag jaman presiden Suharto. Karena itu, walau Gerindra pada saat pileg kencang mengritik neo-liberalisme (yang tentunya ditujukan kepada SBY), isu ini tidak akan terlalu diekspolitasi, karena sangat mungkin ini justru bisa menjadi “kesleo strategi”untuk kedua-kalinya bagi pasangan Mega-Pro.

SBY-Berboedi
Kesan SBY yang lambat dan peragu, tampaknya mulai bergeser sebagai kesan ke arah hati-hati dan cermat dengan memilih Boediono sebagai cawapresnya. Tentang SBY sudah banyak diulas, tetapi apapun SBY adalah seorang mantan jendral dan sekaligus intelektual, jika intelektulaitas seseorang itu boleh diukur dari derajat pendidikan formal yang diperolehnya. Dalam pendekatan cara berpikir, SBY bisa dikategorikan sebagai gabungan pragmatis–idealistik. Sementara Boediono tidak diragukan lagi, sebagai intelektual dengan kadar sangat pintar dengan pengalaman praktis cukup lengkap. Selain, sebagai Guru Besar ilmu ekonomi, pengalaman praktis dibidang ekonomi sangat lengkap; dari menjadi Direksi BI, Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian hingga Gubernur BI. Tidak dipungkiri Boediono merupakan salah satu arsitek utama kebijakan ekonomi Indonesia dalam mengatasi krisis, baik ketika pemerintahan Megawati maupun SBY. Dalam hal cara berpikir Boediono bisa dikategorikan sebagai idealistis-realistik. Degan demikian, pasangan SBY-Berboedi dapat dikatakan sebagai gabungan idealistik-pragmatis-realitik.
Bagaimana kebijakan ekonomi jika pasangan ini menang? Jangan lupa bagi SBY periode mendatang adalah periode terkahir, yang tentu saja ingin dikenang sebagai presiden yang mampu meletakkan landasan bagi Indonesia yang kuat dan bersih. Bagi SBY ini adalah juga kesempatan melunasi janjinya untuk membangun pertanian dan usaha kecil menengah. Komitmen ini juga sekaligus merupakan komitmen Boediono dalam pengukuhan Guru besarnya di FE UGM dengan konsep pertumbuhan ekonomi berbasis luas (Broad-based Economic Growth: BEG). Dalam tema ini, kiranya SBY-Berboedi tidak akan banyak beda dengan Megra-Pro, tetapi sentuhan aspek kelembagaan termasuk hukum akan menjadi fokus yang lain dalam tema kampanye-nya. Tema sinkronisasi Peran Pasar dan Peran Pemerintah akan menjadi tema kebijakan ekonomi SBY-Berboedi.

Tentu bagi kita tidak mudah untuk mengelompokkan pasangan Capres-cawapres tersebut ke dalam cara berpikir tertentu. Karena itu, pengelompokan dalam tulisan ini hanyalah upaya penyederhanaan agar kita bisa sedikit punya gambaran dan referensi garis besar kebijakan yang akan dilakukan jika pasangan tersebut terpilih. Plat-form ekonomi hanyalah salah satu faktor saja, masih banyak faktor lain seperti HAM, loyalitas konstituen, dan bukti selama ini bagi mereka yang pernah berkuasa dalam menetukan keterpilihan para calon tersebut.

Penulis, Guru Besar Fakultas Ekonomi UNDIP