Jumat, Oktober 10, 2008

Krisis Keuangan

BERITA UTAMA Suara Merdeka 10 Oktober 2008

'Obat Darurat' Krisis Keuangan

Oleh FX Sugiyanto

FILSAFAT selalu mengajak kita melihat persoalan dan berbagai realitas dari banyak perspektif, sekaligus secara mendasar. Sebaliknya, praksis kadang-kadang dan lebih sering menuntut penyelesaian secara praktis, cepat yang bersifat pragmatis. Krisis keuangan global saat ini, adalah fenomena praksis yang indikatornya termunculkan dalam kepanikan tindakan para pelaku ekonomi.Penghentian perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta 8 Oktober 2008, jelas menunjukkan adanya kepanikan tersebut. Tentu kepanikan itu bisa dipahami mengingat IHSG jatuh hingga ketingkat 1.456,66 poin, turun 1378.6 poin dibanding posisi 9 Januari 2008. Kepanikan juga melanda semua bursa efek dunia. Kepanikan ini tentu menuntut cara-cara praktis dan cepat, selain fundamental untuk menghentikannya, agar kehancuran tidak semakin parah. IMF telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Eropa akan turun menjadi 1,3 % dari perkiraan sebelumnya 2,6 %. Penurunan aktivitas ekonomi trans-atlatik ini diprediksi memunculkan potensi resesi ekonomi dunia. Untuk menghambat atau sedapat mungkin menghindari datangnya resesi, karena krisis keuangan AS telah juga merambat ke Eropa, masyarakat ekonomi Eropa telah mengambil tindakan dengan segera. Walaupun, mata uang mereka rata-rata menguat, Euro dan Poundsterling, tetapi ECB (European Central Bank) dan Bank of England telah mengambil tindakan penurunan tingkat bunga.Harga minyak di pasar dunia saat ini juga terkoreksi, hingga level 90 dollar AS per barrel. Minyak yang juga merupakan bentuk portfolio, permintaannya di pasar dunia diperkirakan menurun seiring dengan perkiraan munculnya resesi tersebut, karena kemungkinan menurunnya aktivitas di sektor industri. Efek domino krisis keuangan global ini jelas sudah dirasakan di Asia, termasuk Indonesia. Dan tentu kalau krisis ini berkelanjutan, bukan hanya pasar keuangan yang terkena, tetapi juga aktivitas di sektor riil, khususnya yang berkaitan dengan industri ekspor. Kerja sama antarnegara jelas sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi saat ini. Walaupun AS tetap sebagai yang terbesar dalam kuantitas ekonomi dunia, selain Uni Eropa, AS jelas tidak akan mampu dan mau mengatasi krisis ini sendirian. Selain bank-bank Eropa telah menurunkan suku bunganya, FED-pun telah lagi menurunkan suku bunganya saat ini sebesar 50 poin menjadi 1,5 %. Berikutnya ditunggu peran dari negara-negara yang sedang mengalangi kemakmuran ekonomi, seperti China, India dan Brasil. China, memang sudah menurunkan suku bunganya saat ini.Posisi Kritis DolarMelemahnya rupiah saat ini adalah hal yang ”wajar” karena pemburu rente di pasar keuangan saat ini ramai-ramai mengalihkan aset mereka ke dolar juga Euro, bersamaan dengan rontoknya nilai saham mereka. Tentu saja kita, BI dan pemerintah khawatir ketika dolar telah melemah hingga melampaui Rp 9.600/dolar AS. BI sendiri tentu mempunyai alasan kuat ketika harus menaikkan SBI menjadi 9,50 %. Sebagaimana sudah saya kemukakan pada harian ini (19 September 2008), kecuali ada perubahan yang semakin memburuk akibat kasus Lehman Brothers dan inflasi dapat dikendalikan, BI sebaiknya mempertahankan BI rate-nya. Faktanya, kasus tersebut merambat luas. Apakah BI sebaiknya menaikkan BI ratenya lagi, ini sangat tergantung pada perkembangan ekternal dan respons para pelaku pasar uang di Indonesia, apakah mereka masih merasa aman dan nyaman dengan suku bunga saat ini, yang kira-kira masih ada selisih suku bunga internasional riil (real interest rate differential) sekitar 2-2,5 %. Imbauan oleh Menneg BUMN agar 14 BUMN besar mau merupiahkan dolar mereka merupakan langkah yang sangat berarti untuk mengurangi kepanikan pasar saat ini. Tentu pemerintah tidak bisa melakukan kebijakan model ”Gebrakan Sumarlin” tahun 1991, karena BUMN bukan tangan pemerintah lagi sebagaimana dulu. Sementara Menkeu juga bukan lagi ketua Otoritas Moneter. Tetapi yang juga harus diingat, krisis ini memberikan ’windfall profit bagi BUMN pemilik banyak dolar tersebut. Pertamina, misalnya, rata-rata setiap minggu memerlukan 6 juta dolar, yang berarti dengan kenaikan sekitar Rp 200/dolar dalam pekan ini, Pertamina sudah mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp 1,2 miliar hanya dengan menyimpan dolar. Dengan gambaran ini saya mau mengatakan, apapun status hukumnya badan usaha tersebut, BUMN tadi punya kewajiban ikut menyelamatkan perekonomian ini, tidak justru mengambil peluang di tengah ancaman badai krisis.Imbauan ini mestinya juga berlaku untuk BUMN lain seperti bank yang juga menikmati ”durian runtuh” tersebut, bahkan juga BUMS. Bahkan, perbankan mestinya juga tidak menahan-nahan kenaikan bunga depositonya, agar para penabung kecil-pun juga terangsang untuk menabung.Apakah langkah BI menaikkan BI rate-nya kontroversial, sementara beberapa negara lain justru menurunkan suku bunga mereka? Setidaknya untuk sementara, menurut saya, itu adalah pilihan yang paling baik. Tindakan itu dimaksudkan untuk menahan para spekulan pemburu rente (baca: menghindari risiko), berburu valas yang akan dapat mengancam ekonomi nasional. Sebab, posisi dolar saat ini yang sudah mencapai Rp 9.600/ dolar adalah posisi kritis. Posisi tersebut sudah berada pada posisi paritas-nya sekitar Rp 9.597/ dolar. Tentu saja ini posisi darurat yang harus dijaga oleh BI agar tidak terlalu jauh melampaui posisi kurs paritas tersebut.Obat DaruratBanyak yang berpendapat, kenaikan BI rate tersebut tidak akan menyelesaiakan masalah. Pendapat itu tentu tidak salah. Tetapi, sebagaimana sudah dikemukakan di awal tulisan ini, perlu ada tindakan pragmatis, selain langkah-langkah fundamental. Baik langkah menaikkan BI rate maupun perupiahan dolar oleh BUMN barulah merupakan syarat yang diperlukan, dan masih belum cukup. Langkah-langkah itu baru menjadi ”obat darurat” untuk tidak kolaps. Tentu perlu langkah-langkah fundamental lain; yang tentu masih banyak yang harus dilakukan.Fenomena krisis keuangan saat ini; bagi Indonesia, memperkuat keyakinan yang sudah teridentifkasi dan tersahihkan bahwa sektor moneter masih terpisah dan tidak terkait dengan sektor riil. Fenomena ini jelas bukan fenomena baru, karena Peter F Drucker sudah mengidentifikasinya pada pertengahan 1980-an. Dalam konteks Indonesia, dapat kita katakan secara sederhana, bahwa krisis keuangan ini ”hanya” berdampak langsung kepada para pelaku di pasar keuangan; yang tidak lain atau sebagian besar para pemilik aset besar dan kelompok elite ekonomi Indonesia. Sayangnya, kalau tidak boleh saya katakan sebagai celakanya, adalah kelompok elite kecil ini mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Karena kelompok ini adalah kelompok oligarchi ekonomi, yang dalam struktur piramida berada pada lapis atas. Sementara, fenomena ketidakterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil, menunjukkan adanya regiditas dalam mekanisme transmisi kebijakan ekonomi, sehingga sektor riil tidak responsif terhadap berbagai kebijakan ekonomi, khususnya kebijakan moneter. Karena perannya yang dominan tersebut, krisis keuangan yang dampaknya secara langsung dan segera dirasakan oleh oligarchi ekonomi tadi, tetap akan berdampak lanjutan kepada semua lapisan masyarakat ekonomi Indonesia, jika krisis ini tidak segera teratasi dan juga tidak ada penanganan yang mendasar. Penanganan mendasar ini berkaitan dengan upaya serius pembangkitan ekonomi di sektor riil termasuk pada UMK, yang meliputi semua dimensi keterkaitannya, baik sumber daya, hukum, tatanan politik dan tentu saja birokrasi yang friendly terhadap investasi. Sehingga regiditas transmisi tadi dapat diperbaiki. Kepada para pelaku ekonomi marginal dan kecil, selain peluang dan kesempatan sama juga perlindungan dalam berbagai bentuk regulasi perlu diberikan, untuk mengurangi kerentanan perekonomian dari pengaruh perilaku para pelaku oligarchi ekonomi tersebut.(60)— Penulis adalah Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) dan Guru Besar FE Undip