Selasa, September 16, 2008

Masalah Jateng

WACANA22 Agustus 2008'Kulakan' Masalah di Jawa Tengah
Oleh FX Sugiyanto
”BALI Ndesa, Mbangun Desa” menjadi slogan gubernur - wakil gubernur Jateng terpilih: Bibit Waluyo-Rustriningsih. Slogan tersebut setidaknya mengandung dua makna penting. Pertama, berkaitan dengan realitas simbolik, yakni ada niat atau spirit untuk memperbaiki (mbangun) yang selama ini tidak dipikirkan atau ditinggalkan. Kedua, berkaitan dengan realitas empiris, yakni fakta bahwa sebagian besar persoalan utama yang harus diselesaikan berada di desa. Dengan menggunakan dua pendekatan relaitas itu, slogan Bali Ndesa Mbangun Desa menjadi lebih membumi untuk Jawa Tengah, karena persoalan utama di Jateng bermuara pada indikator yang kita kenal sebagai tingkat kemiskinan dan pengangguran.Penduduk miskin di provinsi ini sekitar 6,8 juta jiwa, atau 21,11 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penganggur sekitar 1,19 juta jiwa atau 7,3 persen. Sebagaian besar dari mereka ini tinggal di wilayah pedesaan. Slogan tersebut juga mudah diingat oleh publik. Karena itu, publik pun akan dengan lebih mudah untuk menagih janji. Gubernur terpilih juga mengatakan, setelah dilantik akan segera berkeliling Jateng untuk ”kulakan masalah”. Tulisan ini dimaksudkan untuk kembali menyiapkan bahan kulakan dimaksud. Program 100 HariSecara pribadi, saya tidak tahu persis bagaimana asal-usul adanya kebiasaan yang sering kita kenal sebagai ”program 100 hari”. Namun, menurut hemat saya, program paling konkret dalam masa 100 hari pertama pemerintahan Bibit-Rustri adalah tersusunnya program dan kegiatan yang akan dilakukan gubernur dalam lima tahun ke depan, yang salah satu sumber utamanya adalah dari kulakan ke desa-desa di Jateng. Hal ini pun secara normatif sudah diatur, bahwa dalam tiga bulan setelah dilantik, gubernur terpilih harus menyampaikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam hal ini, gubernur terpilih memang tidak harus mulai dari nol. Selain sudah ada RPJPD 2005-2025, sebagian dari rencana tersebut juga sudah dipaparkan ketika masa kampanye berlangsung. Dan kita semua telah mengikuti paparan-paparan tersebut. Pokok-pokok masalah tersebut akan disampaikan melalui tulisan ini.Pada tingkat kebijakan makro, selain masalah kemiskinan dan pengangguran antarberbagai kelompok masyarakat yang berkaitan dengan masalah distribusi fungsional, Jawa Tengah juga dihadapkan pada masalah kesenjangan spasial. Kesenjangan antarkabupaten masih sangat menyolok. Sebagai ilustrasi, pendapatan perkapita Kabupaten Kudus rata-rata mencapai Rp 14,2 juta dan tertinggi di Jateng. Sementara Kabupaten Grobongan yang berbatasan dengan Kudus hanya memiliki pendapatan perkapita Rp 2,03 juta dan terendah di Jateng. Jumlah pengangguran paling banyak di Kabupaten Brebes, yakni 101 ribu orang (11,53 %) yang kebetulan juga merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak di Jateng. Sementara jumlah pengangguran terendah adalah kabupaten Magelang, 5.700 orang (9,16 %). Dari indikator pembangunan ekonomi dan sosial, yang terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang terendah adalah Kabupaten Brebes (64,3) dan tertinggi Surakarta (76,0). Dari sisi spasial ini, gubernur terpilih dituntut untuk memberi perhatian lebih serius untuk daerah pantura barat, yang mana kebanyakan kabupaten di kawasan ini memiliki IPM rendah.Perlunya gubernur terpilih memerhatikan daerah pantura barat ini diperkuat pula oleh dua indikator penting lainnya. Pendapatan perkapita mempunyai korelasi positif yang kuat (0,56) terhadap IPM. Ini berarti peningkatan pendapatan perkapita akan mendorong peningkatan IPM. Sementara pendapatan perkapita mempunyai korelasi negatif yang kuat (-0,64) terhadap tingkat kemiskinan, yang berarti bahwa peningkatan pendapatan perkapita akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan.Yang menarik dari analisis spasial ini adalah tidak kuatnya korelasi, bahkan boleh dikatakan tidak ada korelasinya, antara pendapatan perkapita dan jumlah pengangguran (-0,006) maupun antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran (-0,005). Hal ini memberi gambaran bahwa pendapatan yang tinggi tidak mempunyai dampak yang berarti terhadap pengurangan jumlah penganggur. Demikian pula pertumbuhan yang tinggi tak mempunyai dampak berarti terhadap pengurangan tingkat pengangguran. Sungguh, gambaran ini menyiratkan sinyal yang mengkhawatirkan. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang meningkat sekalipun tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang secara signifikan dalam mengurangi pengangguran. Sangat mungkin hal ini terjadi karena investasi yang ada selama ini tidak mampu menyediakan lapangan kerja baru. Bisa jadi, investasi yang ada hanya merupakan pengganti investasi yang sudah aus dan tak ada ekspansi investasi. Atau investasi yang ada lebih banyak berupa investasi modal kerja, atau investasi yang cenderung tidak akrab dengan penyediaan lapangan kerja baru. Apabila hal ini dikaitkan dengan penurunan kemiskinan yang berkorelasi dengan kenaikan pendapatan tersebut, dapat disimpulkan penurunan kemiskinan itu lebih bersifat instan dan sementara; bukan karena adanya lapangan kerja dan bersifat sustain. Hal ini pun wajar, karena kebijakan pengurangan kemiskinan yang dilakukan juga bersifat instan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ini sangat berbahaya, karena sangat mungkin kemiskinan akan mudah meningkat dengan cepat, jika ada kebijakan-kebijakan mendadak seperti kenaikan harga-harga komditi pokok.Melihat gambaran itu semua, jelas saat ini diperlukan strategi dan kebijakan ekonomi yang radikal, selain berdimensi spasial, juga sektoral dengan karakter kuat akrab terhadap penyerapan tenaga kerja.Kebijakan Mikro SektoralAnalisis spasial-sektoral terhadap masalah kemiskinan dan pengangguran di Jawa Tengah menghasilkan kesimpulan yang secara sederhana bermuara pada perlunya fokus kebijakan pengembangan pada usaha mikro dan kecil (UMK), pengembangan sektor pertanian, dan wilayah pedesaan. Konsekuensi dari semua itu adalah perlu adanya pengerahan energi besar, baik komitmen, kebijakan, serta fasilitasi terhadap sektor-sektor UMK dan pertanian yang kebanyakan berada di daerah pedesaan. Bukan hanya itu, infrastruktur pun seharusnya juga diarahkan untuk usaha besar tersebut.Kebijakan-kebijakan berkaitan pengembangan UMK secara umum akan berkait dengan lemahnya aksesabilitas ke pasar komoditi dan aksesabilitas ke lembaga keuangan untuk permodalan. Saat ini kita sudah mempunyai UU tentang UMKM. Kiranya ini momentum yang tepat untuk berkomitmen kepada pemberdayaan UMK tersebut.Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pertanian memang lebih rumit, tetapi indikator paling nyata berkaitan dengan pembangunan pertanian adalah lemahnya Nilai Tukar Petani (NTP). Artinya, kebijakan pertanian mencakup sistem pengelolalan pertanian, dari sistem distribusi input hingga distribusi komoditi dan pemetaan komoditi yang berbasis pasar.Pembangunan infrastruktur di pedesaan dan pertanian, baik berkaitan dengan sistem produksi maupun sistem distribusi, merupakan konsekuensi lain yang mesti dilakukan untuk membuktikan komitmen terhadap pengembangan UMKM dan sektor pertanian. Pengembangan infrastruktur ini diharapkan akan mendorong terjalinnya jejaring antarsumber ekonomi antardesa.Akhirnya saya mau menyampaikan, sangat tidak mudah untuk membahas masalah yang begitu penting dalam ruang yang begitu terbatas ini. Karena itu saya hanya ingin sampaikan bahwa slogan Bali Ndesa Mbangun Desa adalah slogan dan semangat yang tepat dan mempunyai makna kekinian dan kedisinian. Tetapi, slogan tersebut masih memerlukan penerjemahan dan implementasi yang lebih menyeluruh dan mendalam sekaligus, sehingga akan berdampak nyata bagi masyarakat Jateng. Selain itu, juga memerlukan energi besar dan terfokus untuk melaksanakannya. Selamat Berjuang Pak Gubernur. (32)—Prof Dr FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Apakah Bapak yakin bahwa slogan itu bisa terealisasi? Mengingat anggaran tahun depan sudah ada persetujuan dewan, lalu di tahun akhir umumnya gubernur sudah memikirkan langkah politik di tahun terakhir daripada memikirkan masalah masyarakat. Sehingga efektifitasnya tinggal 3 tahun. Lalu di tiap diskusi tentang realisasi program tersebut dengan beberapa orang yang mengetahui tentang ekonomi, Pak Gubernur kurang nyambung.
Gimana donk pak?